Ini sebenarnya ungkapan yang begitu klasik. Biasanya terjadi pada orang-orang asing yang ingin pergi ke Bali.

Where will you go for your holiday?
I will go to Bali.
Bali? do you mean Indonesia?
Indonesia? what's that? is that a part of Bali?
No, Indonesia is a country and Bali belongs to its.

Jika kita mendengar hal-hal yang seperti itu sesungguhya kita ingin tertawa sekaligus sedih. Mengapa? karena kebanyakan orang-orang asing sampai sekarang hanya mengenal Bali bukan Indonesia dan mengatakan Indonesia adalah bagian dari Bali. Ungkapan itu kembali lagi populer dalam dunia fiksi ketika sebuah film yang diangkat dari kisah nyata berjudul eat pray love yang dibintangi Julia Roberts menyatakan dalam trailer dengan menyebutkan beberapa tempat yang dikunjungi si tokoh utama yaitu, Italy, India, and Bali.

Dari ungkapan itu juga seakan-akan menegaskan Bali seperti bukan bagian dari Indonesia dalam kamus pariwisata internasional. Ya saya yang mendengarnya agak menyesali dengan istilah itu dan ingin mengubahnya terutama orang-orang asing tersebut yang sudah terpatron dengan istilah Bali saja. Orang-orang Bali sendiri saya yakin tidak bermaksud demikian.

Namun lepas dari itu semua, Bali memang sebuah pulau dan provinsi yang unik di Indonesia. Inilah satu-satunya provinsi dengan kebanyakan mayoritas penduduknya beragama Hindu. Maka tak heran bila di Bali ditemukan banyak pura dan segala macam yang berbau Hindu.

Di Bali adat-istiadat masih dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat Bali yang juga toleran terhadap pendatang orang-orang dari mancanegara. Karena keteguhannya tak heran jika orang-orang Bali tidak terkejut dengan budaya yang dibawa orang-orang tersebut khusunya yang berasal dari Amerika, Eropa, dan Australia. Akan tetapi budaya toleran di Bali juga mempunyai batas. Masih ingat kasus pembuatan film gigolo di Bali atau penghinaan hari Nyepi yang membuat semua masyarakat mayoritas Hindu Bali geram? Hal tersebut menunjukkan bahwa segala macam adat-istiadat harus dihormati dan tidak boleh dijadikan singgungan. 

Bali memang sebuah pulau dan provinsi yang terkenal dengan pariwisata dan industrinya. Sepertinya tak salah jika Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dalam dua tahun terakhir berasal dari Bali seperti I Gede Ardika dan Jero Wacik. Bahkan nama yang terakhir sedang menjabat untuk periode kedua. Karena berlatarbelakang Bali tentu saja mereka paham mengenai seluk-beluk pariwisata di Bali yang selanjutnya disalurkan ke beberapa provinsi lain agar seperti Bali. Pada masa Jero Wacik mulai digalakkan kembali slogan Visit Indonesia Year sejak 2008 dan sejak pemberlakuan slogan itu beberapa provinsi di Indonesia mulai dipromosikan pariwisatanya. Dengan demikian Indonesia tidak hanya tergantung pada Bali pada sektor ini meskipun hingga saat ini harus diakui bahwa Bali masih merupakan penghasil devisa terbesar dari pariwisata.

Bali dalam gambaran umum memang digambarkan sebagai pulau yang damai dan tenang meskipun itu sempat rusak pada 2002 dan 2005 karena serangan bom bunuh diri. Namun, setelah itu perlahan tapi pasti Bali seperti menemukan kembali ketenangannya.

Dalam sejarah republik ini, Bali bersama-sama dengan Aceh adalah provinsi yang paling lama ditaklukkan Belanda dikarenakan semangat para penduduknya yang gigih menentang kekuasaan asing. Belanda baru bisa menaklukkan pulau ini melalui serangkaian ekspedisi militernya pada 1907 dan pada 1930 Bali mulai dipromosikan sebagai tempat pariwisata oleh beberapa orang seperti Walter Spies. Sejak saat itu banyak orang-orang dari mancanegara tertarik ke Bali karena keindahan alamnya dan juga kedamaian yang ditunjukkan penduduknya. Dari sini ungkapan Bali mulai meluas tanpa harus menyebut ia sebagai bagian dari sesuatu. Akan tetapi, beberapa dari mereka yang sadar lama-kelamaan akan menyebut Bali sebagai bagian dari Indonesia bukan Indonesia bagian dari Bali.


RMS dan OPM: Antara Politis dan Etnis

RMS dan OPM. Dua nama itu masih saja bergentayangan di negara kesatuan ini. Namun dengan cara yang agak berbeda meskipun keduanya sama-sama dari Indonesia Timur yang mewakili Maluku dan Papua. RMS atau Republik Maluku Selatan tidaklah seagresif pada masa-masa dahulu ketika didirikan dengan mendirikan sayap militer yang dibantu Belanda untuk memisahkan diri dan kemudian setelah ditumpas melanjutkan perjuangannya di pengasingan tepatnya di Belanda sebagai basis kekuatan. Sedangkan OPM atau Organisasi Papua Merdeka lebih mengutamakan perjuangan dengan kontak-kontak fisik terhadap TNI/POLRI dan menjadikan orang-orang yang bekerja di Freeport atau orang-orang bukan asli Papua sebagai sasaran.

Bila dilihat dari motifnya jelas kedua organisasi separatis ini berdiri karena tujuan yang berbeda meskipun mereka sama-sama mempunyai ras melanesia. RMS ada karena keinginan politis dr. CH. Soumokil yang melihat peluang dibubarkannya RIS dan juga Negara Indonesia Timur sebagai bagian dari RIS. Keinginan politis itu juga didasarkan pada ketakutan Soumokil akan kekuatan Republik Indonesia yang baru saja kembali dibentuk usai RIS dibubarkan. Soumokil sendiri adalah seorang jaksa pro Belanda dan kaki tangan van Mook sewaktu terjadinya agresi militer dan mendukung sepenuhnya pembentukan RIS. Jika RIS bubar ia menginginkan agar Maluku Selatan yang terdiri dari Ambon dan Seram dapat berdiri sendiri dan memang dengan dukungan bantuan militer dari Belanda ia berani memproklamirkan RMS hingga kemudian mengundang TNI untuk menumpas setelah diplomasi gagal.

Usai ditumpas gerakan separatis ini melanjutkan perjuangannya di Belanda dengan ditandai oleh eksodusnya para prajurit RMS eks KNIL yang pro-Belanda. Di Belanda organisasi ini terkenal karena teror-teror ledakan bunuh diri dan pembajakan atas kedutaan Indonesia dan kereta penumpang. Diketahui motif mereka melakukan ini karena kecewa terhadap pemerintah Belanda yang tidak lagi mendukung mereka untuk merdeka dari Indonesia.

Pada masa sekarang lewat kekuatan di pengasingan organisasi separatis ini lebih pada kekuatan yang diplomatif namun juga provokatif seperti yang ditunjukkan di Harganas 2007. Lagipula itu didasarkan pada keadaan di Ambon dan sekitarnya yang sudah tidak seperti dahulu lagi karena kebanyakan masyarakat Maluku yang sudah bercampur dengan pendatang lebih memilih melupakan RMS sebagai masa lalu yang kelam. Hanya sebagian kecil saja yang masih loyal terhadap RMS. Pada akhirnya beberapa pemimpin RMS di pengasingan mencoba untuk memilih jalur otonomi penuh meskipun tujuan untuk merdeka tetap tidak terlupakan.

Jika RMS ada karena alasan politis maka OPM ada karena masalah etnis. Seperti kita ketahui secara umum bahwa gambaran fisik orang-orang Papua dengan masyarakat Indonesia lainnya sangat berbeda dan mencolok. Dasar itulah yang menjadi pembentukan OPM pada 1971. Selain itu ketidakketerkaitan sejarah juga menjadi penyebab meskipun tempat OPM berada, Papua termasuk dalam Pax Neerlandica. Ketika Papua termasuk dalam keterikatan ini beberapa daerah seperti Boven Digoel menjadi saksi bisu penangkapan para aktivis pergerakan Indonesia merdeka oleh Belanda. Jauh beberapa abad sebelumnya beberapa kerajaan Islam di Papua seperti di Raja Ampat, Fak-fak, dan Kaimana juga melakukan perlawanan dengan Belanda.

Namun, hal-hal tersebut tetap saja dibantah dan keinginan OPM untuk merdeka semakin kuat. Beberapa pihak dari gerakan separatis ini meyakini bahwa mereka adalah buah permainan mata antara Belanda dan Indonesia ketika terjadi konflik Indonesia-Belanda pada awal 60-an dan dilanjutkan dengan Pepera pada 1969. Keinginan kuat itu semakin bertambah dengan Papua yang pada masa dahulu bernama Irian Jaya menjadi provinsi yang paling tidak pernah diperhatikan karena masyarakatnya masih dianggap primitif. Apalagi dengan tewasnya dua pemimpin utama mereka seperti Dortheys Hiyo Eluay dan Kelly Kwalik menjadikan perlawanan organisasi ini menjadi-jadi. Ketika Papua diberi otonomi khusus oleh pemerintah RI mereka tetap menolak karena dianggap gagal. Majelis Rakyat Papua juga mengamini hal tersebut. Gerakan mereka pun gencar dipromosikan ke luar negeri terutama ke Papua Nugini dan Australia. Bahkan salah satu partai Australia, Partai Hijau mengumumkan mendukung gerakan ini dan juga beberapa negara di Oseania meskipun kemudian ditarik kembali. Hingga hari OPM masih terus melancarkan serangan membabi-buta terhadap siapapun yang dianggap dari Indonesia terutama TNI/POLRI yang mereka anggap telah melakukan banyak pelanggaran.

Memang jika melihat keadaan diatas ternyata cukup sulit untuk menyatukan semua aspirasi yang ada. Pada dasarnya gerakan-gerakan ini timbul tak hanya dari ketidakadilan tetapi juga karena perbedaan pandangan pada masa lalu. Untuk saat ini baik RMS dan OPM akan tetap dipandang sebagai ancaman meskipun intensitas ancaman lebih kepada OPM yang gemar melakukan teror di pedalaman Papua. Namun, bagaimanapun keadaan yang demikian jangan dibiarkan berlarut-larut. Harus ada tindakan tegas dan pemberian jaminan terutama kehidupan yang makmur. Itu yang seharusnya juga dipikirkan pemerintah pusat yang hanya bisa menindak tanpa menjamin. 

Dominasi Jawa

Ini sebenarnya pemandangan yang umum dan ada di sekitar kita. Memang tak banyak yang menyadari dan hanya segelintir yang tahu ketika nanti ia akan berurusan. Jawa, sebutan singkat untuk orang Jawa adalah orang-orang dari suku Jawa, salah satu suku di Indonesia yang mempunyai asal dari Jawa Tengah termasuk juga Yogyakarta dan Jawa Timur. Suku ini adalah sebagaimana suku-suku di Indonesia terutama di Indonesia bagian barat adalah keturunan langsung dari ras austronesia muda dan juga deutero melayu.

Di Indonesia Jawa adalah suku terbesar dengan jumlah populasi yang merupakan setengah dari jumlah penduduk Indonesia. Keberadaan mereka tidak hanya di Jawa saja terutama asal mereka namun juga di provinsi-provinsi lain seluruh Indonesia bahkan ke luar negeri hingga Suriname. Jadi, bisa dikatakan jika kita bepergian ke seluruh Indonesia saja maka tidak akan pernah kesulitan menemukan suku yang satu ini.

Aslinya suku Jawa adalah suku yang membasiskan kehidupannya pada pertanian namun suku ini juga mampu bergerak di berbagai bidang bahkan yang penting sekalipun seperti militer, pemerintahan, hukum, pendidikan, dan juga politik. Di Indonesia hampir semua bidang itu pasti akan ada selalu suku Jawa.

Bisa dikatakan memang suku Jawa adalah suku yang dominan dalam segala hal di Indonesia. Keadaan itu terjadi karena prinsip hidup mereka yang mau menerima nasib dalam keadaan apa saja termasuk bekerja. Jadi, bisa dikatakan orang-orang dari suku ini tidak mau mengeluh sekalipun dengan keadaan mereka dan menerima itu dengan ikhlas. Keikhlasan itu yang mengantarkan mereka pada kesuksesan. Selain itu memang Suku Jawa-tanpa maksud memandang suku lain-adalah suku yang dikatakan mempunyai segala macam peraturan perundangan yang menyangkut tata hidup yang lengkap seperti sopan-santun meskipun rumit dalam prosesnya.
Pada masa Hindia-Belanda karena keistimewaan sejarahnya dibandingkan dengan suku-suku lain di Indonesia, Belanda selalu menganakemaskan Jawa terutama yang keturunan bangsawan untuk bisa bersekolah ala Belanda. Selain itu dalam kesatuan militer Hindia-Belanda, KNIL, Belanda juga menempatkan suku ini dalam jajarannya meskipun itu hanya diserahi tugas-tugas yang kooperatif dan diplomatif dibandingkan dengan suku dari Maluku dan Minahasa yang ditempatkan sebagai penyerang.

Dalam sejarah presiden Indonesia, kebanyakan presiden-presiden Indonesia adalah orang Jawa. Hanya beberapa saja dari luar Jawa. Memang jika orang Jawa yang memimpin ada semacam kewibawaan tersendiri di hadapan suku-suku lain.

Meskipun demikian ada yang kurang suka dengan dominasi Jawa dalam segala bidang hingga sampai-sampai peraturan dibuat dengan ala Jawa. Pada masa Soeharto, presiden kedua RI ini melakukan Jawanisasi di segala bidang yaitu dengan menghilangkan peraturan-peraturan adat atau daerah yang berbeda dengan Jawa dan kemudian setelah Soeharto lengser peraturan-peraturan yang hilang dimunculkan kembali sesuai dengan semangat otonomi daerah yang berlaku. 

Prasangka-prasangka kesukuan juga mulai menyerang Jawa secara terang-terangan. Dalam pandangan suku lain, suku ini dianggap mempunyai kelemahan seperti bicara berputar-putar, terlalu lemah-lembut, dan feodal terutama dalam birokrasi pemerintah yang sampai sekarang masih ada. Akan tetapi dibalik itu semua mereka adalah suku yang rajin dan tidak mau macam-macam dengan suatu permasalahan.

Dominasi Jawa di Indonesia juga tidak sebatas pada itu saja tetapi juga pada pusat pemerintahan, teknologi, industri, transportasi, dan olahraga semua dipusatkan pada Pulau Jawa. Hal ini yang terkadang membuat pulau lain iri terutama di Indonesia Timur dan meminta kesetaraan.

Saya meskipun punya darah Jawa terkadang memandang dominasi ini dari dua sisi positif dan negatif. Kedua sisi ini perlu bagi saya untuk melakukan penilaian karena dibalik yang positif ada juga negatif begitu juga sebaliknya. Hanya saja saya meminta supaya dalam pucuk pemerintahan mendatang hendaknya diberikan kepada orang-orang di Indonesia Timur karena jika terpilih orang-orang ini akan memprioritaskan daerahnya yang banyak tertinggal sedangkan orang-orang Jawa ada baiknya duduk sebagai penasehat atau pengawas.

Pada 1992, sebuah kelompok musik dari Jakarta, KLA Project memunculkan sebuah lagu berjudul "Yogyakarta". Sebuah lagu yang bertemakan dan berisi tentang Yogyakarta luar-dalam. Lagu itu kemudian menjadi populer dan karenanya kelompok musik itu diberikan penghargaan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X, penguasa Yogyakarta kala itu yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Yogyakarta enam tahun kemudian. Penghargaan itu hadir karena KLA telah secara tersirat mempromosikan Yogyakarta sebagai tujuan wisata yang istimewa.

Ya, Yogyakarta memang istimewa. Bukan hanya dari dia sebagai tempat wisata yang selalu menarik minat banyak orang untuk mengunjunginya setelah Bali. Namun, Yogyakarta baik itu kota dan provinsi memang sudah ditakdirkan seperti itu.

Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY atau Yogya untuk lebih praktisnya adalah sebuah provinsi di Indonesia yang embel-embel daerah istimewanya bukan belaka semata saja. Provinsi terkecil nomor dua di Indonesia setelah DKI Jakarta ini adalah satu-satunya provinsi yang masih berbentuk monarki dan karenanya pucuk pimpinan dipegang oleh raja setempat yang juga berposisi sebagai gubernur dalam hal ini, Sri Sultan HB X. Keistimewaan inilah yang tidak ada pada provinsi-provinsi lain yang kebanyakan jabatan kepala daerah dipegang oleh orang-orang sipil.

Keberadaan Yogyakarta sebagai sebuah kesultanan tentu sudah ada sejak dahulu sebelum provinsinya dan republik ini berdiri. Sejak 1775 kesultanan ini berada di bumi sebagai akibat perjanjian Giyanti dengan Belanda yang membuat Mataram menjadi dua yaitu, Yogyakarta dan Surakarta.

Dalam perjalanan sejarahnya, kesultanan Yogyakarta telah melakukan perlawanan yang gigih terhadap Belanda bahkan beberapa kerabat kerajaan seperti Pangeran Diponegoro adalah salah satunya. Ketika RI diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, seketika itu kesultanan Yogyakarta dan kadipaten di bawahnya, Paku Alaman menyatakan diri sebagai bagian dari NKRI dan setelah  itu daerah kesultanan menjadi saksi bisu perjuangan mempertahankan kemerdekaan seperti serangan mendadak Belanda pada Agresi Militer ke-2, Serangan Umum 1 Maret, pemindahan kekuasaan dari Jakarta ke Yogyakarta hingga tertangkapnya para founding-fathers oleh Belanda. 

Keadaan seperti itu juga yang menginspirasikan banyak seniman untuk mengabadikan Yogyakarta dalam banyak karya antara lain melalui sastra, musik, dan film hingga sekarang.

Karena keistimewaan yang dimilikinya maka pada 1950, pemerintah RI menetapkan Yogyakarta sebagai provinsi terpisah dari Jawa Tengah dengan status Daerah Istimewa. Sampai sekarang boleh dibilang Kesultanan Yogyakarta adalah satu-satunya kesultanan swapraja yang masih eksis dengan membentuk pemerintahan sendiri setingkat provinsi jika dibandingkan dengan kesultanan-kesultanan swapraja lainnya seperti Surakarta, Ternate, Palembang, Pontianak, Cirebon, dan sebagainya. Kesultanan-kesultanan seperti tadi harus menjadi bagian dari provinsi tersebut dan tunduk pada wewenang yang berlaku sehingga jarang terdengar ke permukaan. Daerah-daerah ini pada masa Hindia-Belanda termasuk juga Yogyakarta mendapat status otonomi zelfsbesturen yaitu, berhak mengurus pemerintahannya sendiri.

Keistimewaan Yogyakarta yang lain adalah karena disinilah berdiri sebuah perguruan tinggi ternama dan pertama di Indonesia, yaitu Universitas Gajah Mada pada 1950 dan setelah berdiri banyak universitas lain yang membuat Yogyakarta disebut sebagai kota pelajar.

Namun, tak hanya itu Yogyakarta juga mempunyai sisi hitam karena banyaknya perempuan yang sudah memiliki status tidak perawan dan menjadi pertanyaan bagaimana bisa di sebuah wilayah yang menjunjung tinggi adat sopan-santun Jawa hal demikian bisa terjadi?

Beberapa tahun yang lalu sempat ada upaya untuk membuat UU yang baru mengenai tata pemerintahan di Yogyakarta yang menghendaki agar pucuk pimpinan daerah dipilih langsung oleh rakyat karena selama ini di Yogyakarta jarang sekali ada pemilihan seperti itu. Pemilihan yang ada sudah pasti melalui musyawarah badan-badan setempat dengan tetap menetapkan Sri Sultan sebagai gubernur dan Sri Adipati Paku Alaman sebagai wakil gubernur. UU yang baru itu nantinya juga akan memisahkan penyelenggaran pemerintahan dengan kesultanan dan juga keadipatian. Jelas, bila dilihat sekilas itu tandanya akan membuat pihak sipil bisa menjadi gubernur di Yogyakarta. Sontak saja, UU yang baru itu memancing banyak reaksi karena akan menghilangkan status keistimewaan Yogyakarta. Hingga sekarang UU yang diributkan itu  masih dalam proses yang tidak jelas.

Bagaimanapun, dalam ranah negara yang heterogen ini menghilangkan keistimewaan suatu daerah berarti menghilangkan juga salah satu keheterogenan  dan keunikan yang ada. Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa tentunya harus selalu kita hormati keberadaannya dengan sifat yang masih absolut. Lagipula, wibawa Sri Sultan sebagai penguasa Yogyakarta masih mempunyai wibawa di mata masyarakat Yogya. Wibawa itu tidak hanya sebatas pada status sebagai raja namun juga sebagai gubernur provinsi. Meskipun negara ini bersifat demokratis namun demokratisasi yang ada seharusnya tidak menyinggung hal-hal yang dianggap sensitif. 

Aceh. Bila mendengar kata itu kita akan langsung menuju ke sebuah kata "serambi mekkah", tsunami, GAM, dan belakangan dalam beberapa bulan yang lalu, teroris. Semua itu seakan-akan menyiratkan ada kesan religius namun juga ada kesan menegangkan alias tidak damai.

Di masa lalu Aceh memang penuh dengan konflik politik yang berkepanjangan akibat adanya pelanggaran HAM semasa pemerintahan orde baru yang melaksanakan kebijakan Daerah Operasi Militer atau DOM. Kebijakan itu dipicu oleh adanya GAM yang hendak melakukan kegiatan separatis dari Indonesia pada 1976. Pada akhirnya setelah konflik yang berjalan sekian lama permusuhan antara GAM dan RI berakhir dan kehidupan damai dimulai kembali. Penyebab utamanya adalah tragedi tsunami yang melululantahkan seluruh Aceh dan membuat semua yang bertikai agar mengakhiri sebab konflik yang berkepanjangan hanya akan membuat Aceh tambah menderita. Meskipun memang tadi saya sebutkan ada kegiatan teroris terselubung di Aceh, namun pada akhirnya itu tidak mempengaruhi kehidupan rakyat Aceh yang menginginkan kedamaian dan memang sebagian besar dari teroris itu sudah mati dan dibekuk.

Bila melihat dalam keadaan sekarang, Aceh memang unik. Sudah 3 kali provinsi pertama di Indonesia ini berganti nama dari Daerah Istimewa Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam hingga Aceh saja. Bukan itu saja inilah satu-satunya provinsi di Indonesia yang benar-benar secara total menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Pelaksanaan syariat itu dilaksanakan oleh beberapa pihak seperti Majelis Permusyawaratan Ulama, pengadilan syariah hingga polisi syariah yang bertindak di lapangan. Pelaksanaan ini ada berangkat dari sejarah Aceh di masa lampau sebagai sebuah kerajaan Islam yang berdaulat dan mempunyai kekuasaan di sekitar selat Malaka. Juga karena mulai diberlakukannya otonomi bagi tiap daerah pasca reformasi. Sempat ada pro dan kontra mengenai ide pelaksanaan tersebut karena ada yang mengatakan pelaksanaan syariat tidak sesuai dengan Pancasila sebagai dasar ideologi negara dan ada juga mendukung karena itu sesuai dengan kultur masyarakat Aceh yang islami dari kota sampai pelosok. Karenanya julukan "serambi mekkah" melekat pada provinsi ini meskipun dalam kenyataannya tidak semua orang-orang Islam di Aceh adalah tipe yang taat dalam beragama. 

Pelaksanaan syariat yang sudah dimulai pada 2001 lalu sampai saat ini terbilang lancar dan tidak ada kendala. Masyarakat Aceh menerima peraturan itu karena sesuai dengan kemauan mereka sendiri meskipun juga di lapangan masih ditemukan pelaksanaan yang setengah-setengah.

Setidaknya dalam pandangan heterogen, syariat Islam yang diterapkan di Aceh pada ahkhirnya mesti dihargai meskipun itu memang tidak sesuai dengan koridor yang ditetapkan dalam Pancasila yang harus dianut sebagai ideologi bangsa. Namun demikian sikap orang Aceh pada masa ini masih dikatakan setia kepada NKRI setelah konflik berakhir.

Yang unik lagi dari Aceh adalah provinsi ini mempunyai juga beberapa partai lokal seperti Partai Aceh dan Sira yang boleh ikut dalam pemilu 2009 lalu. Beberapa partai politik lokal yang digambarkan sebagai ujung aspirasi rakyat Aceh yang sebenarnya ini pun mendapat banyak kursi di DPRD Aceh sendiri. Meskipun memang keberadaan partai-partai itu terutama Partai Aceh dicurigai karena dinilai sebagai terusan dari GAM akibat lambang yang digunakannya. Keberadaan partai-partai lokal ini karena adanya isi dari MoU di Helsinki yang mengizinkan hal tersebut.

Apapun yang sekarang berada di Aceh bagaimanapun harus kita hargai. Sebagai sebuah bangsa yang lahir dari rahim yang heterogen sudah semestinya sikap seperti itu mesti diperlihatkan. Mengingkarinya sama saja mengingkari para nenek moyang dan founding fathers negara ini ketika akan membentuk sebuah nasion dari berbagai nasion.

Multikultur: Anugerah sekaligus Tantangan

Dalam belakangan dekade terakhir ini beberapa negara terutama di Eropa yang mengklaim sebagai empunya peradaban barat sedang giat-giatnya memproklamirkan diri sebagai negara yang multikulturalis. Hal itu dikarenakan ada banyaknya komposisi yang begitu beragam di dalam kependudukan mereka. Komposisi beragam itu kebanyakan berasal dari luar negara-negara yang bersangkutan yang tentu saja membawa banyak latar belakang dalam hal ini kebudayaan. Mereka pun disebut imigran yang kemudian mempunyai hak yang sama dan setara untuk mendapatkan fasilitas di negara baru tersebut.

Dari keadaan di atas tentu akan ada pertanyaan yang sederhana apa multilkulturalis itu?

Kata tersebut adalah kata sifat dan turunan dari multikulturalisme, yaitu sebuah paham yang menerima dan menghargai perbedaan latar belakang budaya dalam satu lingkungannya. Di Eropa hal demikian terjadi pada masa-masa setelah Perang Dunia ke-2 terutama pada tahun 1970-an dengan banyak datangnya para imigran dalam hal ini dari Afrika. Tentu saja keadaan yang demikian pada awalnya akan mengakibatkan pihak penetap asli terkejut dan belum siap menerima.

Lalu bagaimana dengan di Indonesia?

Jika di Eropa seperti terkesan buatan karena sesuatu yang menyangkut multikultural pasti harus ada imigrannya maka di Indonesia tidak demikian. Di sini hal tersebut sudah berlangsung lama dan alami. Berlangsungnya pun sudah berabab-abad. Masyarakat Indonesia pada umumnya memang sudah ditakdirkan untuk menjadi masyarakat yang multikutur dan tidak terkejut dengan situasi tersebut. Bahkan karena hal tersebut banyak kebudayaan di Indonesia yang lahir melalui proses dalam multikultur yaitu, akulturasi.

Keterkejutan atas sesuatu yang multikultur memang sering membawa dampak negatif terutama apabila ada dua kebudayaan yang bersinggungan. Kasus-kasus persinggungan itu kebanyakan terjadi di negara-negara Eropa. Banyak kejadian seperti kerusuhan etnis, prasangka buruk, dan segala macam dikarenakan hal tersebut.

Di Indonesia sendiri hal tersebut jarang terjadi karena identitas Indonesia yang sudah lahir sebagai kaum multikultur. Sikap saling menghargai masih ada meskipun belakangan harus ternoda oleh beberapa sikap yang menodai kemultikulturan Indonesia seperti prasangka buruk atas suku, ras, dan agama tertentu. Namun, semua itu bisa diredam dengan mengutamakan musyawarah dan mufakat. Sebab hal itu juga sudah sesuai dengan nenek moyang bangsa ini yang sudah menjalin kemultikulturan ketika republik ini belum berdiri. Memang dari sini saja bisa dikatakan bahwa multikultur itu anugerah namun juga tantangan.

Indonesia adalah negara yang mempunyai keberagaman agama dan kepercayaan. Setidaknya itulah yang memang terlihat dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Setiap orang dalam satu perkumpulan saja bisa mempunyai keyakinan yang berbeda-beda. Namun, ternyata perbedaan malah tidak menjadi penghalang untuk setiap individu yang di dalamnya untuk bersatu dan juga mengeluarkan pendapat. Hal ini dikarenakan adanya toleransi dari masing-masing pihak dalam melihat perbedaan tersebut.
Toleransi sudah begitu lama hidup di Indonesia bahkan dari abad kekuasaan Majapahit. Pada masa itu antara dua umat beragama yang ada di Majapahit, hindhu dan budha hidup rukun dan berdampingan satu sama lain. Hal itu pun tertuang dalam tulisan terkenal dari Mpu Sutasoma, Negarakertagama. Bahkan salah satu kata dari kitab itu, bhinneka tunggal ika kemudian dijadikan dasar bagi negara ini.

Karena sudah begitu lama toleransi lama-kelamaan menjadi budaya dari Indonesia itu sendiri. Banyak negara lain yang terkagum-kagum akan toleransi yang dibangun Indonesia.

Namun, pada saat ini toleransi yang ada di Indonesia seperti sedang diuji keberadaannya. Banyak kasus-kasus pelanggaran dan penyerangan terhadap kegiatan agama tertentu. Hal-hal seperti ini yang amat sangat disayangkan. Entah karena apa toleransi pada akhirnya sudah tidak dipakai lagi sehingga kekerasan pun akhirnya seperti akan siap membudaya. Semua ini terjadi pasca reformasi 1998.

Mengenai hal tersebut ada yang mengusulkan agar untuk meminimalisir tindak kekerasan terjadi diperlukan juga yang nama pluralisme. Pluralisme dalam artian di sini adalah kembali menghargai pihak-pihak yang berbeda dengannya dan membiarkan yang berbeda tersebut menjalankan aktivitas keagamaannya tanpa diganggu-gugat. Hal ini sesuai dengan jiwa toleransi Indonesia. Namun ada juga yang mengusulkan agar pluralisme tidak sebatas itu saja melainkan harus masuk ke dalam agama-agama yang bersangkutan sehingga melahirkan pluralisme agama. Paham ini pada intinya adalah mengajarkan semua Tuhan adalah sama dan satu dan karenanya semua agama adalah sama. Itu artinya setiap orang yang berbeda agamanya bisa dengan senang hati mengikuti ajaran agama lain semau gue.

Bila dilihat dari caranya jelas pluralisme agama yang selalu didengung-dengungkan oleh pihak-pihak yang katakanlah liberal sebenarnya menyalahi aturan dari toleransi itu sendiri. Toleransi itu ada untuk menghargai perbedaan namun harus ada batasnya. Jika tidak ada batas maka manusia bisa sesuka hati main ini itu seperti layaknya binatang. Padahal manusia itu bukan binatang karena jelas manusia dianugerahi akal dan pikiran dan dengan itu manusia mempunyai cipta, rasa, dan karsa.

Jika pihak-pihak yang selalu mendengungkan pluralisme agama dengan alasan toleransi dan semua agama sama jelas-jelas dia sudah tidak mengakui perbedaan yang ada di republik ini sebagaimana yang digariskan dalam konstitusi. Apalagi jika dikatakan semua agama itu sama. Tentu saja itu semua masih pada inti. Tentang konsep yang lain seperti ketuhanan tentu berbeda. Mengatakan semua agama sama berarti juga akan menganggu-gugat hak otonomi agama yang diwakili pemeluknya. Pada dasarnya keyakinan seseorang tidak bisa dicampur aduk seperti halnya kita mencampur aduk banyak buah untuk dijadikan jus dan belum tentu semua akan klop. Tentu saja hal tersebut akan membuat yang memeluk agama tertentu menjadi bingung untuk mencari kebenaran apalagi jika itu sifatnya hakiki. Kalau memang mengatakan agama itu sama semuanya, ada baiknya yang mengatakan untuk lebih baik menjadi seorang yang ateis karena tidak mau repot-repot dalam beribadah. 

Jadi, pluralisme agama itu tidak diperlukan dalam kehidupan yang berbhineka itu sebab dampaknya hanya akan merusak toleransi yang sedang diuji pada sekarang-sekarang ini. 


Keragaman Marga Indonesia

Sering mendengar nama-nama ini dalam kehidupan sehari kita?

Situmorang, Nainggolan, Silalahi, Hutapea, Lasut, Sondakh, Rotinsulu, Waworuntu, Salampessy, Puttiray, Sapulete, Haumahu, Sikumbang, Pilliang, Wanggai, Solossa, Raya dan Tallo?

Jika sering tentu beberapa ada yang langsung bisa menebak bahwa itu adalah nama belakang beberapa suku di Indonesia seperti misalnya, Situmorang cs. dari Batak dan Salampessy cs. dari Maluku.

Beberapa suku di Indonesia yang tentu saja akan berbeda adat-istiadatnya mempunyai nama lokal untuk keluarga mereka sendiri dan itu disebut dengan marga. Marga biasanya akan disematkan pada nama belakang seseorang dan itu sifatnya turun-menurun. Kebanyakan suku-suku di Indonesia dalam sistem kemargaannya menggunakan sistem patrilineal, yaitu yang berasal dari garis keturunan Ayah seperti yang ada pada marga Batak, Maluku, suku-suku di Nusa Tenggara Timur, Toraja,  Lampung, dan  Nias. Akan tetapi ada juga suku yang menggunakan sistem kemargaannya berdasarkan garis ibu atau matrilineal seperti yang ada pada suku Minangkabau. Kedua-duanya seperti di Minahasa atau genealogis-teritorial seperti di Lampung.

Namun, ada juga beberapa suku yang tidak mempunyai marga sama sekali. Hal ini dikarenakan dalam sistem kemargaan di suku-suku tersebut menggunakan sistem bilateral yaitu menganut keturunan dari garis ayah dan ibu. Hal ini terdapat pada suku-suku di Pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Sumatera (terutama yang mempunyai akar kebudayaan Melayu) Kalimantan (dalam hal ini Melayu Banjar dan Dayak), Bugis dan Bali.
Selain suku-suku asli Indonesia beberapa suku-suku pendatang dari luar dalam hal ini Cina, Arab, dan India juga mempunyai marga atau bangsa (khusus Arab). Beberapa marga yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari itu adalah Tan, Liem, Ang, Al-Habsyi, Baswedan, Al-Attas atau Alatas, Punjabi, Singh, dan Sinivasan. Beberapa marga dari suku-suku pendatang ini terutama Cina kebanyakan telah diindonesiakan dengan alasan politis pada masa Soeharto. Seperti misal PK. Ojong, mantan pendiri Kompas-Gramedia yang mengindonesiakan namanya dari Auwjong ke Ojong. Untuk marga dari Arab kebanyakan berasal dari Hadramaut, Yaman dan India berasal dari beberapa suku yang ada di India, Pakistan, Bangladesh, dan Srilanka seperti Punjabi yang berasal dari Punjab, daerah yang berada di India dan Pakistan.

Beberapa dari suku yang mempunyai marga tersebut seperti Batak dan Maluku bila dilihat mendasarkan kemargaannya juga pada sistem kemargaan yang berada di Eropa Barat seperti di Belanda, Jerman, Perancis, dan Inggris sedangkan di Minahasa berdasarkan pada Portugis dan Spanyol. Untuk Maluku penamaan marganya bisa dibilang unik sebab marga atau fam sebutan asli di sana biasanya bercampur dengan banyak nama dari luar selain dari lokal seperti ada orang yang bernama Caarstens yang sudah pasti dari Belanda, Da Costa atau De Fretes yang berasal dari Spanyol atau Portugal serta nama-nama Arab seperti Alkatiri dan Al Chatib.  

Ketika seseorang mempunyai marga di belakangnya tentunya hal tersebut tidak akan menyulitkannya ketika ia berada di luar negeri. Namun akan berdampak sebaliknya jika orang tersebut tidak bermarga seperti yang ada di Jawa yang hanya memakai satu nama pemberian saja. Otomatis nama pemberian itu diulang-ulang. Seperti nama Suparjo maka ketika di luar negeri nama itu akan diulang menjadi S. Suparjo. Biasanya untuk memudahkan beberapa orang di Indonesiakan memberikan nama tambahan untuk anaknya meskipun itu bukan nama marga dan malah hasilnya akan menjadi unknown atau tidak diketahui.

Untuk saat ini di Indonesia yang lebih sering terdengar marganya adalah Batak dan Maluku. Keterlibatan mereka dalam berbagai bidang seperti hukum, hiburan, dan olahraga menjadi ruang bagi publik untuk mengetahui hal tersebut. Sedangkan marga-marga lain kurang terdengar yang bisa saja kurang terperhatikan atau karena sudah tidak terpakai lagi seperti di Minangkabau yang hilang karena kebanyakan orang-orang di Minangkabau tidak terlalu lagi mempentingkan marga atau suku bagi sebutan mereka dalam beberapa dekade terakhir. Genealogis yang sifatnya matrilineal juga dianggap sebagai faktor tersebut karena sifatnya yang lemah. Malah sekarang ini kebanyakan orang-orang dari Minangkabau pun juga tidak segan memakai nama Melayu, Jawa, atau Sunda bahkan barat untuk anak-anaknya.

Negeri Seribu Gunung

Meletusnya Gunung Sinabung di Sumatera Utara pada medio akhir Agustus lalu semakin menandakan bahwa Indonesia memang kaya akan gunung berapi dan juga rawan bencana. Sebelumnya, tidak banyak pihak yang mengira bahwa Gunung yang tertidur selama 400 tahun itu akan meletus kembali. 

Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia memang kaya dalam segi geografis. Kekayaan itu bukan hanya bersumber dari lautan yang memang sudah diandalkan bangsa ini sejak dahulu kala namun juga bersumber dari daratan yang didalamnya terdapat gunung-gunung. 

Gunung di Indonesia terbagi dua yaitu gunung berapi dan non-berapi. Jumlah keduanya diperkirakan jika digabungkan mencapai ribuan dengan beberapa ratus di antaranya adalah gunung berapi. Di Indonesia sendiri gunung berapi pun juga terbagi dua yaitu yang aktif dan tidur.

Dalam peta vulkanik dunia hampir semua pulau di Indonesia (kecuali Kalimantan dan Papua) ditempati banyak gunung berapi. Hal ini dikarenakan karena Indonesia adalah kepulauan yang dilewati oleh dua sirkum yaitu pasifik dan mediterania. Kebanyakan gunung-gunung berapi tersebut berpusat di Jawa sehingga memang dalam beberapa dekade sering terdengar letusan gunung di pulau ini seperti letusan Gunung Merapi, Galunggung, Papandayan, Bromo dan lainnya. Sedangkan di pulau-pulau lainnya  seperti Sumatera jarang terdengar sebelum akhirnya Sinabung menonjolkan diri. Sebelum Sinabung di Sumatera yang paling sering terdengar adalah Kerinci dan Talang. Di Sulawesi adalah Soputan, Maluku Ibu, dan kepulauan Sunda kecil dalam hal ini Nusa Tenggara Barat  dan Timur adalah Rinjani dan Egon. Sedangkan Bali yang terakhir kali meletus adalah Batur, gunung tertinggi kedua  di pulau tersebut setelah Agung. Namun, itu sekitar 11 tahun yang lalu.

Selain gunung berapi di daratan terdapat juga gunung berapi di lautan. Sebut saja Krakatau dan beberapa gunung bawah laut di Laut Banda, Maluku. Mengenai Krakatau hampi semua masyarakat Indonesia dan juga dunia mengenalnya sebagai gunung berapi dengan letusan paling dahsyat sepanjang sejarah umat manusia. Gunung itu sendiri meletus pada 1883 ketika Indonesia masih dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda. Tercatat banyak korban jiwa akibat letusan tersebut yang tersebar di Banten dan Lampung. Akibat letusan gunung itu juga kawasan-kawasan dekat gunung seperti Jakarta dan Tangerang diliputi awan gelap sehingga banyak yang menyangka akan terjadi kiamat. Dampak yang dirasakan tidak hanya di Indonesia saja tetapi juga di seluruh dunia yaitu dengan adanya perubahan iklim yang tidak menentu.  Hal yang demikian juga berlaku pada saat Tambora meletus beberapa puluh tahun sebelum Krakatau. Letusan gunung yang berada di Sumbawa, NTB tersebut pada kenyataannya juga tidak hanya berdampak pada masyarakat sekitar gunung namun juga menyebabkan dampak iklim yang lebih parah di berbagai belahan dunia dan itu terkenal dengan sebutan tahun tanpa musim panas. Dampak itu juga yang menyebabkan Napoleon kalah oleh sekutu di Waterloo.

Pada kenyataannya adanya gunung berapi terutama di Indonesia terlihat begitu menyeramkan jika dilihat dari letusan dan jumlah korbannya. Namun setidaknya ada juga hal-hal positif yang bisa diambil terutama dalam bidang yang bisa meningkatkan ekonomi. Selain juga ternyata bisa menyuburkan tanah, keberadaan gunung-gunung berapi itu juga bisa dijadikan obyek wisata karena keindahannya dan bahkan bisa juga dijadikan taman nasional dan jalur pendakian. Sudah banyak sekali gunung di Indonesia yang dijadikan seperti itu dan hasilnya cukup untuk menghidupi masyarakat sekitar dan menyumbang devisa. 

Dalam tulisan ini juga saya ingin mengatakan bahwa di Indonesia tak hanya didominasi saja oleh gunung-gunung berapi atau non-berapi yang sifatnya tropis karena rupanya di ujung timur Indonesia tepatnya di Papua terdapat sebuah gunung bernama Puncak Jaya. Gunung ini sendiri berbeda dengan gunung-gunung lainnya karena merupakan satu-satunya gunung bersalju di Indonesia dan juga puncak tertinggi di negara ini. Selain itu, Puncak Jaya adalah satu dari rangkaian tujuh puncak dunia yang wajib didaki oleh para pendaki gunung manapun.

Akhir kata sebuah kesimpulan di dapat bahwa selain heterogennya bangsa ini geografinya pun juga heterogen. Setidaknya ini adalah anugerah namun juga tantangan. 

Mudik: Prestisius-universalnya sebuah tradisi

Setiap tahun bila menjelang akhir-akhir ramadhan, telinga kita akan selalu mendengarkan kata seperti ini: mudik. Hampir di tiap media dan juga pembicaraan lisan orang-orang sekitar rumah mudik akan selalu menjadi tema favorit. Bahkan karena favorit dan juga prestisiusnya, mudik akan selalu mendapat tempat juga dalam berbagai pemberitaan mulai dari pemberangkatan, persiapan hingga berita ketika para pemudik sampai. Tak hanya itu berita-berita yang berkaitan dengan mudik tak selalu positif, tetapi juga negatif mulai dari kecelakaan, pencopetan dan penjambretan.

Mudik bagi banyak orang adalah pulang ke kampung atau daerah asal. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam KBBI yang menyatakan mudik adalah kegiatan pergi ke udik. Pergi di sini dinyatakan pergi untuk pulang sedangkan udik bisa bermakna pedalaman, hulu sungai atau desa/kampung.

Sesungguhnya, hampir setiap hari dan waktu orang yang jauh dari kampung halamannya akan melakukan kegiatan mudik entah itu karena masalah keluarga atau karena ada kegiatan besar di kampung halamannya. Jadi, bisa dikatakan mudik adalah semacam kegiatan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Namun, adalah kebalikannya jika hal tersebut dilakukan menjelang hari-hari besar keagamaan seperti idul fitri. Nilai mudik itu menjadi luar biasa sebab yang melakukan mudik rupa-rupanya memanfaatkan mudiknya untuk berkumpul merayakan idul fitri bersama keluarga dan teman-teman di daerah asal. Maka memang ada ungkapan bahwa mudik akhirnya menjadi kewajiban.

Karena nilainya yang mendekati hari-hari besar keagamaan maka sudah dipastikan jumlah yang mudik akan selalu membludak. Sering kita lihat ada pemudik yang rela menunggu berjam-jam di terminal, stasiun, bandara dan pelabuhan hanya untuk mendapatkan tiket pulang (yang bahkan mahal di atas harga rata-rata) dan transportasi yang mengangkut mereka. Selain itu juga beberapa pemudik yang kebanyakan adalah para pekerja di berbagai sektor seperti perkantoran, perbankan, bahkan pedagang pasar atau pedagang kecil akan rela meninggalkan pekerjaannya demi mudik bersama keluarga dan itu dilakukan beberapa hari menjelang lebaran.

Jika melihat situasi di atas sudah dipastikan akan selalu terjadi desak-desakan bila menaiki transportasi yang ditunggunya dan banyak juga yang tidak terangkut. Beberapa solusi dilakukan seperti program mudik bersama atau penyediaan transportasi alternatif.

Pada dasarnya mudik juga mengandung banyak keuntungan terutama bagi mereka pihak yang menyediakan fasilitas untuk pemudik, pihak pengelola angkutan umum serta juga pihak-pihak yang memberitakan kegiatan mudik seperti media masa dan cetak dengan menggandeng beberapa sponsor dalam berbagai pemberitaan. Keuntungan lainnya adalah kota-kota besar akan menjadi lengang selama ditinggal sebagian besar para penghuninya yang mudik.

Mudik sejatinya adalah tradisi yang sudah mengakar di Indonesia dan tradisi ini sifatnya universal dan tidak terkait dengan satu hari keagamaan saja karena pasti setiap akan menjelang hari keagamaan orang-orang yang mempunyai sangkut-paut dengan agamanya akan melakukan kegiatan tersebut meskipun akan ada banyak perjuangan yang akan dilalui namun ketika sudah melewati ada kelegaan yang dimiliki sebab tujuan untuk berkumpul bersama keluarga dan teman-teman sudah terpenuhi. Hal ini menjadikan mudik harus selalu dilestarikan meskipun setelah mudik nanti masalah baru muncul yaitu munculnya pendatang baru yang hendak mencari nafkah. 

Konlik Indonesia-Malaysia: Konflik siapa?

Dalam sebulan ini media-media nasional diramaikan dengan berita konflik antara Indonesia dan Malaysia. Konflik itu berawal dari penangkapan 3 petugas DKP di dekat Batam oleh kepolisian Diraja Malaysia pada medio pertengahan Agustus lalu. Konflik dengan negara tetangga seperti Malaysia sudah sering terjadi dari tahun ke tahun. Dimulai dari sengketa Sipadan, Ligitan, kasus TKI, sengketa blok Ambalat hingga klaim beberapa produk kebudayaan bangsa sendiri.

Bila pada konflik-konflik sebelumnya Malaysia yang selalu dihujat oleh rakyat Indonesia yang berdemo adem-ayem saja apalagi juga rakyatnya, maka pada konflik ini kali ini pihak yang dihujat bereaksi. Hal ini dikarenakan pada awal akhir Agustus kedubes Malaysia yang berada di Jakarta yang untuk kesekian kali menjadi sasaran demo kemarahan beberapa orang Indonesia yang geram dengan sikap Malaysia menginjak-injak dan membakar bendera Malaysia serta melemparkan bendera itu dan kedubesnya dengan kotoran manusia. Tindakan seperti itu jelas membuat Malaysia marah dan mengeluarkan nota protes beserta saran bepergian ke Indonesia meskipun pada akhirnya itu batal dilaksanakan mengingat Malaysia masih punya kepentingan dengan Indonesia. Dari pihak Indonesia atas desakan dari berbagai elemen akhirnya pemerintah Indonesia mau juga mengeluarkan nota protes dan tanggapan bahkan memang ada pihak yang menginginkan bila perlu perang meskipun sepertinya hal itu akan urung terjadi mengingat sekali lagi kedua negara masih saling membutuhkan.

Namun, coba perhatikan! Seperti ada yang mengganjal dalam tiap konflik dengan negeri jiran tersebut yang katanya serumpun. Demo-demo menentang dan mengganyang Malaysia bahkan yang anarkis malah kebanyakan terjadi di Pulau Jawa, Bali, bahkan hingga Makassar sedangkan di Sumatera, Kalimantan, Maluku hingga Papua terlihat malah adem-ayem dan diam saja. Ada apa gerangan?

Baiklah untuk pertama-tama kita ke Sumatera dahulu. Pulau pertama di Indonesia sebelum Jawa yang terdiri dari 10 provinsi terlihat adem-ayem karena menganggap negara yang sedang dijadikan bahan konflik ini adalah negara yang mempunyai kesamaan budaya dan adat-istiadat yaitu, Melayu. Jadi, berkonflik dengan Malaysia sama saja seperti memerangi saudara sendiri. Perlu diketahui bahwa beberapa kesultanan di Sumatera seperti kesultanan Deli dan Siak masih mempunyai kerabat di beberapa kesultanan di Malaysia. Bahkan tak hanya kesultanan tetapi juga beberapa warga di Sumatera masih mempunyai keluarga di sana. Umumnya mayoritas pekerjaan orang-orang di Sumatera adalah pedagang dan memang seringkali mereka menjual barang dagangannya ke Malaysia dan begitu juga Malaysia. Karena hal tersebutlah orang-orang baik di Sumatera maupun Malaysia selalu merasa seperti di rumah sendiri jika kedua-duanya saling berkunjung. Tak pernah terdengar berita konflik antara orang-orang di Sumatera dan Malaysia karena kesamaan tersebut.

Kalimantan sama halnya dengan Sumatera. Kebudayaan Kalimantan yang sudah terkenal, Dayak menjadi penyebabnya beserta juga kebudayaan melayu yang memang di Kalimantan adalah tempat asalnya. Beberapa orang di Kalimantan juga mempunyai kerabat di Malaysia terutama yang di perbatasan yang merasa tidak dipedulikan oleh pemerintahnya sendiri sehingga mereka pun sekarang malah apatis terhadap permasalahan di Indonesia. Jadi, konflik ini mereka tidak mau ambil pusing.

Lalu bagaimanakah di Timur? meskipun beberapa orang Maluku sempat marah karena lagu tradisional mereka, rasa sayange sempat diklaim sebagai lagu pariwisata Malaysia, namun  jelas hingga hari ini tidak terlihat aktivitas demo ganyang Malaysia (sepertinya orang-orang Maluku juga sudah apatis terhadap hal tersebut karena rupanya pemerintahnya sendiri malah tidak bisa menjaga warisan budaya mereka) apalagi di Papua yang merasa berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia dan beberapa generasi mudanya selalu berteriak ingin merdeka karena diperlakukan tidak adil oleh pejabat-pejabat di luar mereka. Konflik dengan Malaysia tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka.

Jadi, jika dilihat ke atas lagi mengapa kebanyakan demo-demo itu terjadi di Jawa, Bali, dan juga Makassar?
Ada baiknya untuk yang satu ini kita melirik lagi yang namanya kesamaan budaya atau serumpun. Keserumpunan Indonesia dan Malaysia sebenarnya hanya dilihat dari faktor kebudayaan melayu yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Namun, entah mengapa keserumpunan itu malah menyebar ke pulau-pulau lain dalam hal ini Jawa, Bali, hingga ke Timur. Nah, jika kita perhatikan lagi tentu saja ada perbedaan antara orang-orang di Jawa dengan yang di Sumatera.

Perbedaan ini jelas bersifat sukuisme dan juga mayoritas pekerjaan. Antara suku Melayu dengan suku Jawa baik di dalamnya juga suku Sunda tentu berbeda karakter. Ada yang mengatakan bahwa suku Melayu itu malas, tidak suka pekerjaan yang kasar dan lebih menyukai berdagang sedangkan baik Jawa maupun Sunda dikatakan ulet, sabar, dan rajin dan rela melakukan pekerjaan kasar yang penting semua itu ikhlas dan nrimo. Maka, memang di Indonesia jika kita melihat kenyataan umum yang berlaku kebanyakan buruh bahkan yang murah sekalipun berasal dari Jawa. Apa pernah kita mendengar buruh kasar dari Sumatera katakanlah dari Minangkabau yang ternyata lebih suka berdagang dan membuka usaha kuliner.

Akibatnya karena mau dibayar murah asal perut terpenuhi dan juga keikhlasan maka maulah para buruh dari Jawa ini mengadu nasib di Malaysia sebagai buruh rumah tangga dan akhirnya sering menjadi korban dan itulah kenyataan yang berlaku. Hal itu terjadi karena mereka dianggap rendah bahkan juga beberapa di antara mereka ada yang tidak bersambung saat berkomunikasi dengan majikannya yang bermelayu kental sedangkan mereka hanya bisa berbahasa Indonesia itu pun masih terpengaruh bahasa daerah mereka. Hal inilah yang sering menjadi kesalahpahaman.

Sedangkan Bali itu karena mereka merasa dikangkangi Malaysia karena salah satu tariannya setahun lalu diklaim dalam produk pariwisata negeri jiran tersebut. Selain itu kekerabatan historis mereka dengan orang-orang Jawa juga menjadi penyebab mereka merasa harus berdemo ganyang Malaysia.

Lalu Makassar berdemo karena emosi orang-orang tersebut yang cepat naik darah jika mendengar hal yang panas-panas. Kota ini seringkali menjadi sorotan nasional karena beberapa mahasiswanya kerapkali tauran dengan anarkis. Namun, jika diperhatikan ternyata yang berdemo hanya sebagian elemen saja karena ternyata beberapa orang di Makassar dan sekitarnya juga mempunyai kekerabatan historis dengan Malaysia dan beberapa juga masih mempunyai sanak-saudara di sana.

Bila melihat kenyataan di atas maka ternyata sebenarnya yang berkonflik dengan Malaysia itu adalah orang-orang Jawa dalam hal ini orang-orang dari suku Jawa juga Sunda (Orang-orang Betawi yang merasa juga mempunyai akar kebudayaan Melayu juga terlihat diam). Konflik itu dikarenakan orang-orang dari Suku Jawa dan Sunda seringkali menjadi korban kekerasan bahkan hukuman mati.  Pada akhirnya juga karena mereka menjadi korban maka orang-orang dari suku mereka pula yang begitu ribut dan emosi. Bahkan dalam beberapa tayangan televisi yang sering berkoar-koar adalah orang-orang dari Jawa baik itu pengamat hukum internasional, politik, menteri, dan juga akademisi. Tak pernah ada satu pun selain dari itu. Hal ini saja pun seperti menyimpulkan bahwa bangsa yang terdiri dari berbagai pulau dan kebudayaan ini saja seperti tak ada satu kata dan seperti berdiri di atas kepentingan sendiri yang dibungkus menjadi kepentingan nasional yang akhirnya menjadi hangat di berbagai media. Pada akhirnya, orang-orang termasuk saya akan malas melihatnya lagi sebagai sebuah kebutuhan nasionalisme.

Kalau saya putar lagi ada semacam gengsi di antara orang-orang Jawa yang pada masa dahulu mempunyai kekuatan yang superior lewat Majapahit. Orang-orang Jawa jelas tidak mau kehilangan martabatnya jika menghadapi orang-orang Melayu sebaliknya orang-orang Melayu seperti merasa dianaktirikan sebab orang-orang Jawa menguasai hampir seluruh bidang kehidupan karena keuletannya sehingga mungkin banyak dari mereka yang pergi merantau dan menetap di rumah saudaranya di Malaysia lalu melakukan balas dendam terhadap orang-orang Jawa yang menjadi buruh rumah tangga.

Saya bukannya mau menimbulkan disintegrasi tetapi saya melihat kenyataan yang ada. Meskipun nasionalisme selalu didengung-dengungkan tetapi sukuisme masih merebak di mana-mana. Prasangka buruk atas suku ini dan itu pada akhirnya yang menjadi penghambat untuk bersatu. Saya hanya menyarankan kepada orang-orang Jawa agar lebih baik semuanya  menjadi pedagang karena dengan profesi seperti itu setidaknya akan dihormati. Ada baiknya juga segala prasangka buruk dihilangkan dan ingat semuanya harus seiya sekata dalam bertindak. Terakhir, keberadaan orang-orang Melayu baik di Sumatera dan Kalimantan juga ada untungnya karena merekalah yang bisa mencegah peperangan antara Indonesia dan Malaysia.

Sheila ON 7-Hari Bersamanya