Konlik Indonesia-Malaysia: Konflik siapa?

Dalam sebulan ini media-media nasional diramaikan dengan berita konflik antara Indonesia dan Malaysia. Konflik itu berawal dari penangkapan 3 petugas DKP di dekat Batam oleh kepolisian Diraja Malaysia pada medio pertengahan Agustus lalu. Konflik dengan negara tetangga seperti Malaysia sudah sering terjadi dari tahun ke tahun. Dimulai dari sengketa Sipadan, Ligitan, kasus TKI, sengketa blok Ambalat hingga klaim beberapa produk kebudayaan bangsa sendiri.

Bila pada konflik-konflik sebelumnya Malaysia yang selalu dihujat oleh rakyat Indonesia yang berdemo adem-ayem saja apalagi juga rakyatnya, maka pada konflik ini kali ini pihak yang dihujat bereaksi. Hal ini dikarenakan pada awal akhir Agustus kedubes Malaysia yang berada di Jakarta yang untuk kesekian kali menjadi sasaran demo kemarahan beberapa orang Indonesia yang geram dengan sikap Malaysia menginjak-injak dan membakar bendera Malaysia serta melemparkan bendera itu dan kedubesnya dengan kotoran manusia. Tindakan seperti itu jelas membuat Malaysia marah dan mengeluarkan nota protes beserta saran bepergian ke Indonesia meskipun pada akhirnya itu batal dilaksanakan mengingat Malaysia masih punya kepentingan dengan Indonesia. Dari pihak Indonesia atas desakan dari berbagai elemen akhirnya pemerintah Indonesia mau juga mengeluarkan nota protes dan tanggapan bahkan memang ada pihak yang menginginkan bila perlu perang meskipun sepertinya hal itu akan urung terjadi mengingat sekali lagi kedua negara masih saling membutuhkan.

Namun, coba perhatikan! Seperti ada yang mengganjal dalam tiap konflik dengan negeri jiran tersebut yang katanya serumpun. Demo-demo menentang dan mengganyang Malaysia bahkan yang anarkis malah kebanyakan terjadi di Pulau Jawa, Bali, bahkan hingga Makassar sedangkan di Sumatera, Kalimantan, Maluku hingga Papua terlihat malah adem-ayem dan diam saja. Ada apa gerangan?

Baiklah untuk pertama-tama kita ke Sumatera dahulu. Pulau pertama di Indonesia sebelum Jawa yang terdiri dari 10 provinsi terlihat adem-ayem karena menganggap negara yang sedang dijadikan bahan konflik ini adalah negara yang mempunyai kesamaan budaya dan adat-istiadat yaitu, Melayu. Jadi, berkonflik dengan Malaysia sama saja seperti memerangi saudara sendiri. Perlu diketahui bahwa beberapa kesultanan di Sumatera seperti kesultanan Deli dan Siak masih mempunyai kerabat di beberapa kesultanan di Malaysia. Bahkan tak hanya kesultanan tetapi juga beberapa warga di Sumatera masih mempunyai keluarga di sana. Umumnya mayoritas pekerjaan orang-orang di Sumatera adalah pedagang dan memang seringkali mereka menjual barang dagangannya ke Malaysia dan begitu juga Malaysia. Karena hal tersebutlah orang-orang baik di Sumatera maupun Malaysia selalu merasa seperti di rumah sendiri jika kedua-duanya saling berkunjung. Tak pernah terdengar berita konflik antara orang-orang di Sumatera dan Malaysia karena kesamaan tersebut.

Kalimantan sama halnya dengan Sumatera. Kebudayaan Kalimantan yang sudah terkenal, Dayak menjadi penyebabnya beserta juga kebudayaan melayu yang memang di Kalimantan adalah tempat asalnya. Beberapa orang di Kalimantan juga mempunyai kerabat di Malaysia terutama yang di perbatasan yang merasa tidak dipedulikan oleh pemerintahnya sendiri sehingga mereka pun sekarang malah apatis terhadap permasalahan di Indonesia. Jadi, konflik ini mereka tidak mau ambil pusing.

Lalu bagaimanakah di Timur? meskipun beberapa orang Maluku sempat marah karena lagu tradisional mereka, rasa sayange sempat diklaim sebagai lagu pariwisata Malaysia, namun  jelas hingga hari ini tidak terlihat aktivitas demo ganyang Malaysia (sepertinya orang-orang Maluku juga sudah apatis terhadap hal tersebut karena rupanya pemerintahnya sendiri malah tidak bisa menjaga warisan budaya mereka) apalagi di Papua yang merasa berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia dan beberapa generasi mudanya selalu berteriak ingin merdeka karena diperlakukan tidak adil oleh pejabat-pejabat di luar mereka. Konflik dengan Malaysia tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka.

Jadi, jika dilihat ke atas lagi mengapa kebanyakan demo-demo itu terjadi di Jawa, Bali, dan juga Makassar?
Ada baiknya untuk yang satu ini kita melirik lagi yang namanya kesamaan budaya atau serumpun. Keserumpunan Indonesia dan Malaysia sebenarnya hanya dilihat dari faktor kebudayaan melayu yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Namun, entah mengapa keserumpunan itu malah menyebar ke pulau-pulau lain dalam hal ini Jawa, Bali, hingga ke Timur. Nah, jika kita perhatikan lagi tentu saja ada perbedaan antara orang-orang di Jawa dengan yang di Sumatera.

Perbedaan ini jelas bersifat sukuisme dan juga mayoritas pekerjaan. Antara suku Melayu dengan suku Jawa baik di dalamnya juga suku Sunda tentu berbeda karakter. Ada yang mengatakan bahwa suku Melayu itu malas, tidak suka pekerjaan yang kasar dan lebih menyukai berdagang sedangkan baik Jawa maupun Sunda dikatakan ulet, sabar, dan rajin dan rela melakukan pekerjaan kasar yang penting semua itu ikhlas dan nrimo. Maka, memang di Indonesia jika kita melihat kenyataan umum yang berlaku kebanyakan buruh bahkan yang murah sekalipun berasal dari Jawa. Apa pernah kita mendengar buruh kasar dari Sumatera katakanlah dari Minangkabau yang ternyata lebih suka berdagang dan membuka usaha kuliner.

Akibatnya karena mau dibayar murah asal perut terpenuhi dan juga keikhlasan maka maulah para buruh dari Jawa ini mengadu nasib di Malaysia sebagai buruh rumah tangga dan akhirnya sering menjadi korban dan itulah kenyataan yang berlaku. Hal itu terjadi karena mereka dianggap rendah bahkan juga beberapa di antara mereka ada yang tidak bersambung saat berkomunikasi dengan majikannya yang bermelayu kental sedangkan mereka hanya bisa berbahasa Indonesia itu pun masih terpengaruh bahasa daerah mereka. Hal inilah yang sering menjadi kesalahpahaman.

Sedangkan Bali itu karena mereka merasa dikangkangi Malaysia karena salah satu tariannya setahun lalu diklaim dalam produk pariwisata negeri jiran tersebut. Selain itu kekerabatan historis mereka dengan orang-orang Jawa juga menjadi penyebab mereka merasa harus berdemo ganyang Malaysia.

Lalu Makassar berdemo karena emosi orang-orang tersebut yang cepat naik darah jika mendengar hal yang panas-panas. Kota ini seringkali menjadi sorotan nasional karena beberapa mahasiswanya kerapkali tauran dengan anarkis. Namun, jika diperhatikan ternyata yang berdemo hanya sebagian elemen saja karena ternyata beberapa orang di Makassar dan sekitarnya juga mempunyai kekerabatan historis dengan Malaysia dan beberapa juga masih mempunyai sanak-saudara di sana.

Bila melihat kenyataan di atas maka ternyata sebenarnya yang berkonflik dengan Malaysia itu adalah orang-orang Jawa dalam hal ini orang-orang dari suku Jawa juga Sunda (Orang-orang Betawi yang merasa juga mempunyai akar kebudayaan Melayu juga terlihat diam). Konflik itu dikarenakan orang-orang dari Suku Jawa dan Sunda seringkali menjadi korban kekerasan bahkan hukuman mati.  Pada akhirnya juga karena mereka menjadi korban maka orang-orang dari suku mereka pula yang begitu ribut dan emosi. Bahkan dalam beberapa tayangan televisi yang sering berkoar-koar adalah orang-orang dari Jawa baik itu pengamat hukum internasional, politik, menteri, dan juga akademisi. Tak pernah ada satu pun selain dari itu. Hal ini saja pun seperti menyimpulkan bahwa bangsa yang terdiri dari berbagai pulau dan kebudayaan ini saja seperti tak ada satu kata dan seperti berdiri di atas kepentingan sendiri yang dibungkus menjadi kepentingan nasional yang akhirnya menjadi hangat di berbagai media. Pada akhirnya, orang-orang termasuk saya akan malas melihatnya lagi sebagai sebuah kebutuhan nasionalisme.

Kalau saya putar lagi ada semacam gengsi di antara orang-orang Jawa yang pada masa dahulu mempunyai kekuatan yang superior lewat Majapahit. Orang-orang Jawa jelas tidak mau kehilangan martabatnya jika menghadapi orang-orang Melayu sebaliknya orang-orang Melayu seperti merasa dianaktirikan sebab orang-orang Jawa menguasai hampir seluruh bidang kehidupan karena keuletannya sehingga mungkin banyak dari mereka yang pergi merantau dan menetap di rumah saudaranya di Malaysia lalu melakukan balas dendam terhadap orang-orang Jawa yang menjadi buruh rumah tangga.

Saya bukannya mau menimbulkan disintegrasi tetapi saya melihat kenyataan yang ada. Meskipun nasionalisme selalu didengung-dengungkan tetapi sukuisme masih merebak di mana-mana. Prasangka buruk atas suku ini dan itu pada akhirnya yang menjadi penghambat untuk bersatu. Saya hanya menyarankan kepada orang-orang Jawa agar lebih baik semuanya  menjadi pedagang karena dengan profesi seperti itu setidaknya akan dihormati. Ada baiknya juga segala prasangka buruk dihilangkan dan ingat semuanya harus seiya sekata dalam bertindak. Terakhir, keberadaan orang-orang Melayu baik di Sumatera dan Kalimantan juga ada untungnya karena merekalah yang bisa mencegah peperangan antara Indonesia dan Malaysia.

Sheila ON 7-Hari Bersamanya