Menang-Kalah lalu seri?

Dalam sebuah pertandingan olahraga, khususnya sepak bola, sebagai penonton kita selalu melihat, bahkan berharap, ada yang kalah dan menang. Kalah dan menang memang dua kata yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini apalagi di olahraga seperti sepak bola yang ditentukan dalam 2 x 45 menit. Di dalam olahraga, kalah dan menang memang terlihat eksplisit, sedangkan dalam bidang lainnya bisa implisit, seperti dalam berpolitik. Tentu saja masyarakat lebih menginginkan yang eksplisit daripada implisit. Alasannya, adalah lebih mudah diketahui dan tidak perlu meraba-raba lagi apa yang telah terjadi. Atau juga mungkin daya tangkap dan pikir tiap orang bisa berbeda-beda


Tetapi, bagaimana bila sesuatu yang eksplisit itu bisa menjadi bumerang? Padahal, itu sangat diharap-harapkan?


Kenyataannya, hal yang demikian memang sering terjadi. Karena tujuan sebenarnya dari sebuah pertandingan adalah mencari kalah dan menang, maka kalau yang menang pasti gembira dan bersyukur, yang kalah sedih, sabar, dan meratapi, tetapi kemudian sadar masih ada esok untuk bisa berprestasi dan menang. Tentulah sebenarnya itu yang diharapkan. Menang-kalah disikapi dengan sewajarnya. Akan tetapi, bagaimana kalau tidak?


Jangan tanyakan kalau yang seperti itu terjadi negara-negara maju, meski dalam beberapa hal ada juga kejadian demikian. Kebanyakan, diakui, itu terjadi di negara-negara yang sedang mengarah maju. Menang-kalah bisa disikapi dengan tidak sewajarnya alias berlebihan. Pada saat seperti inilah, menang dan kalah tidak ada artinya sama sekali. Menang dan kalah hanya sebatas di bibir.
Kemudian muncul keinginan tidak perlu ada menang dan kalah. Yang ada seri saja biar adil. Meski nyatanya terlalu dipaksakan juga untuk bisa mencapai hasil yang demikian. Logikanya, kalau tim itu terlalu kuat bagi tim satunya masa iya harus "dipaksakan" main seri demi terciptanya sesuatu yang adil dan tidak menimbulkan keskisruhan? Atau bisa main seri karena keberuntungan dan sama-sama kuat.


Apa pun itu, kalah dan menang tetap dibutuhkan, tetapi harus yang alami. Bukan dibuat-buat apalagi untuk mencapai nomina besar.



Mencari Kata-Kata Konsisten

Konsisten. Nampaknya, hal demikian amat sulit ditemukan, terutama di republik ini . Konsisten, sejujurnya hanya terdiri dari sembilan huruf. Tetapi, tampaknya sembilan huruf itu menjadi perkara yang gampang ketika diucapkan, baik dalam normal maupun cepat. Anak kecill saja bisa mengucapkannya, jika diajarkan. Perihal konsisten, yang mungkin dan bukan tidak mungkin, bisa disinonimkan dengan keteguhan, ketetapan, atau sesuatu yang sifatnya tetap alias tidak berubah-ubah. Meski disinonimkan, tetap saja konsisten yang menang. Cara pengucapannya yang diletupkan keluar secara fonologis, membuat orang-orang tampak lebih merasa "keren" statusnya ketika mengucapkannya.

Wajar, karena konsisten itu sendiri berasal dari bahasa rumpun germanik, Inggris dan Belanda, consistent. Wajar juga karena sesuatu yang bersifat asing akan selalu dikerubuti oleh pemakai bahasa di negeri ini, ketika ada suatu titik kebingungan saat hendak berucap.

Tetapi, saya tidak mau berpanjang-lebar mengenai konsisten ini. Toh, saya juga menggunakannya. Yang saya ingin paparkan adalah kata-kata yang konsisten. Jika kata-kata itu konsisten, itu berarti kata-kata haruslah mempunyai suatu ketegasan, ketetapan, dan tidak berubah-ubah. Kata-kata yang demikian amat sangat diperlukan, terutama bagi mereka yang hendak belajar bahasa Indonesia, baik lokal maupun asing.

Konsistennya sebuah kata, bisa dilihat dari strukturnya yang tidak pernah berubah-ubah selama berpuluh-puluh tahun. Keadaan demikian, membuat pemakainya  terus-menerus memakainya, dan menjadikan yang demikian sebagai pedoman utuh. Ini tentu, kalau sudah diyakini, tidak perlu lagi tanya ini-itu atau melihat kamus. Melihat kamus pun juga untuk mencari definisi meskipun itu tentatif dan relatif.

Bagaimana jika sebaliknya?

Tentu yang demikian amat sangat merepotkan. Bagi pembelajar bahasa atau yang berhadapan dengan bahasa, masalah demikian memang riskan. Apalagi bagi orang-orang di luar tersebut.

Itu sih lain cerita kalau di negara maju. Di Indonesia? kalau boleh memilih, tentu Anda akan mengatakan secara pasti keadaan nomor dua.

Ya! itu betul! di sini memang tidak konsisten. Terlalu banyak ketidakkonsistenan. Merasuk ke dalam kata-kata, baik secara struktural maupun secara logika. Di banyak tempat, terutama di media massa dan penerbitan, pasti berbeda penerapan kata-kata itu. Di tempat yang satu menuruti si anu, di tempat ini juga menuruti si anu. Pada akhirnya, terciptalah keragaman, tetapi dalam konteks yang negatif. Hal demikian memang menyulitkan, bukan saja si pekerja bahasa, tetapi masyarakat awam, terutama anak-anak sekolah. Kalau yang peduli akan bertanya pada gurunya, yang tidak peduli sebaliknya. Tetapi, saya yakini, anak-anak sekolah tidak peduli hal demikian sebab mereka sendiri malah sudah pusing dengan bahasa Indonesia yang malah seperti matematika. Matematika yang menakutkan saja bisa dibuat menyenankan alias tidak menakutkan. Masa iya, pelajaran bahasa yang aslinya seharusnya menyenangkan, malah dibuat harus menguras otak.

Sesuatu yang tidak konsisten tentulah tercipta dari atas, bukan dari bawah. Maka, bila ditelisik, sesuatu itu muncul dari pemerintah melalui lembaga yang mengatur tentang cara berbahasa yang baik dan benar. Di tiap negara tentu mempunyai lembaga yang demikian. Sebut saja Academie Francaise di Prancis, Nederlands Taalunie di Belanda dan Belgia, Academia della Crusca di Italia, atau lembaga bahasa Arab di tiap-tiap negara Arab. Adanya lembaga-lembaga demikian, tujuannya tidak lain mengatur supaya terjadi keseragaman dalam berbahasa, baik lisan maupun tulisan.

Apakah Indonesia mempunyai lembaga yang demikian? tentu saja punya. Lembaga itu adalah Pusat Bahasa. Bagian dari Depdiknas. Pusat Bahasa, yang merupakan kelanjutan dari lembaga yang sama pada masa Hindia-Belanda, tentulah menjadi tumpuan dalam berbahasa. Segala sesuatunya diatur dari sini dan kemudian diaplikasikan dalam bentuk kamus, seminar, dan sebagainya. Terlihat dari luar mulus, tetapi pada kenyataannya kebalikannya.

Pusat Bahasa, sebagai lembaga tertinggi pengatur bahasa dan berbahasa pada kenyataannya malah memble dan tidak tegas. Ketika muncul keragamaan ejaan dan logika kalimat, lembaga ini bukannya menegaskan malah mengiyakan asal konsisten. Pusat Bahasa pun hanya jadi formalistas belaka dari sebuah politisasi pihak-pihak tertentu. Tidak bergerak. Hanya diam di tempat tanpa melakukan inovasi sama sekali. Alhasil, bahasa Indonesia menjadi mandek. Banyak protes bermunculan, tetapi sepertinya tidak digubris.

Bila dibandingkan dengan negara jiran, Malaysia, yang rupanya juga mempunyai lembaga yang sama, Dewan Bahasa dan Pustaka, keadaannya sungguh terbalik. Tidak ada campur tangan sama sekali. Lembaga ini malah terlihat tegas dan berwibawa. Hampir semua media massa di Malaysia ejaannya dan makna seragam.
Jadi, kalau sekarang mau mencari kata-kata konsisten. jawabannya: susah.

Politik dan Politisasi

Hampir setiap orang di republik ini, sama seperti saya, pasti muak dengan keadaan yang menimpa bangsa akhir-akhir ini. Kalau mau tepatnya, bukan akhir-akhir ini, melainkan pasca reformasi. Entahlah, banyak yang berharap pasca penggulingan rezim itu, akan tercipta kestabilan dan juga kemakmuran, lepas dari apa yang namanya KKN. Selain itu, lepas juga yang namanya budaya ABS serta adanya kebebasan di semua lini, termasuk kebebasan pers dan berekspresi.

Memang, kebebasan itu benar-benar seperti air terjun deras menerjang kehidupan bangsa ini, walau pun kebablasan. Akan tetapi, saya tidak mau membicarakan itu. Karena toh, itu sudah menjadi barang umum. Saya hanya ingin membicarakan tentang politisasi.

Sejujurnya, topik ini tidak akan lepas dari masalah mengenai politik. Di Indonesia, politik itu menjadi primadona nomor satu, terutama bagi mereka yang berada di Senayan, Istana Negara, atau tempat-tempat lain yang berbau pemerintahan. Menjadi primadona, karena hampir setiap hari, televisi-televisi berita di Indonesia yang lahir pasca reformasi, ramai-ramai membicarakan mengenai kasus politik A dan si B. Ditambah lagi, politik juga dijadikan santapan mewah bagi media massa, terutama harian, dengan tujuan oplah. Akibatnya, politik menjadi sesuatu yang negatif. Sesuatun yang ghibah karena mirip dengan gosip. Mempengaruhi dan menjatuhkan. Lawan menjadi kawan. Kawan menjadi lawan. Itulah yang mungkin, menurut saya, ada di benak masyarakat Indonesia sekarang bahwa politik tidak lepas dari pejabat, presiden, dan parlemen. Makanya, tidak heran jika jurusan politik di tiap perguruan tinggi laku. Namun, saya yakin seyakin-yakinnya, mereka yang belajar ilmu politik, harus menyadari dan kecele bahwa ilmu politik itu susah. Ya, iyalah, yang mereka tahu awal-awalnya kan hanya politik praktis. Aslinya, politik itu, beserta ilmunya, mulia. Tujuannya, mempengaruhi orang supaya orang berbuat baik. Untuk praktiknya, tidak harus di parlemen, cukup saja di dalam bergaul. Siapa yang berhasil mempengaruhi  temannya, maka ia telah pintar berpolitik.

Nah, dari politik kemudian menjadi politisasi. Semua sudah pasti tahu apa itu politisasi? kalau yang saya ambil dari KBBI, itu artinya adalah sesuatu gagasan atau keadaan yang bersifat politis. Politis sendiri adalah kata sifat dari politis, yang kemudian diturunkan menjadi nomina politisasi. Ini sendiri sebenarnya merupakan indonesianisasi dari politisir, yang berasal dari bahasa Belanda, politiseer. Berhubungan dengan politisasi, saya hanya ingin mengatakan, di semua tempat di Indonesia, tidak hanya di tempat-tempat berbau pemerintahan, semuanya dipolitisasi. Dua contoh saja yang saya ingin beritahu, PSSI dan bahasa Indonesia. Saya memilih ini bukan karena ada Indonesia di belakangnya, tetapi PSSI yang mewakili sepak bola, olahraga terpopuler se-Tanah Air, dan bahasa Indonesia, yang mewakili gerak laku komunikasi di zamrud khatulistiwa ini.

PSSI, yang sejatinya adalah basis untuk sebuah olahraga populer saja tak lekang oleh politisasi. Sejak berdirinya hingga sekarang, politisasi adalah hal yang lumrah. Jika dahulu Soeratin cs mendirikan PSSI sebagai organisasi untuk melawan kesombongan Belanda, maka sekarang untuk menanamkan hegemoni kekuasaan seperti presiden dengan moto: dia yang berkuasa, dia yang menang. Itu betul adanya. PSSI sekarang, yang Arifin cs, memang menang melawan Bakrie. Buktinya, ISL dihapus dan diharamkan kemudian diganti LPI. Statuta dilanggar dan masih banyak lagi. Akibatnya, sepak bola Indonesia kembali mandek dan tambah mandek. Selepas Nurdin lengser, ada secercah harapan bagi para penggila bola untuk bisa menikmati kembali permainan timnas Indonesia yang sempat memukau atau membuat timnas naik peringkatnya dari regional ke Asia, bahkan  dunia. Tetapi, nyatanya itu hanya mimpi di siang bolong. Dengan alasan ini-itu akibatnya membawa sesuatu yang fatal, Indonesia dengan mayoritas pemain LPI dicukur 10 gol tanpa balas oleh Bahrain. Sejujurnya, hal ini sangat memalukan? tetapi, malukah mereka? Para pemain malu, tetapi para petinggi itu tidak malu dan terus mencari-cari alasan. Tentu, para penggila sepak bola Indonesia muak, tetapi mereka sudah capek untuk coba melengserkan Johar dan kawan-kawannya, walau pun di dalam hati ingin sekali. Jikalau Johar lengser, Bakrie kembali muncul, dan saya rasa tetap saja politisasi ada dan ada. Akibatnya, akan mudah ditebak lagi sehingga malas juga panjang-lebar membicarakannya.

Kalau mengenai bahasa Indonesia, memang sedari dulu sudah banyak permasalahan, terutama pada ejaan dan semantisasi kalimat. Bahasa Indonesia, di mata sebagian orang di republik ini, adalah sesuatu yang menyebalkan dan tidak perlu, bahkan lebih baik bahasa asing. Itu memang benar. Coba lihat di sekolah-sekolah dari SD hingga SMA, bahasa Indonesia hanyalah pelengkap kurikulum semata. Hanya sekedar pelajaran menghafal, bukan praktik. Hanya sekedar pelajaran menguras otak dengan soal-soal susah seperti matematikan, dan bukannya menjadi pelajaran yang menyenangkan dengan bermain-main kata dan logika. Akhirnya yah akhirnya, banyak orang Indonesia, sejujurnya tidak lancar berbahasa secara logika, dan juga lancar berkosakata ketika menulis. Yang penting makna dasarnya tahu.

Selain itu, di beberapa tempat bisa berbeda kosakata. Ada yang menuruti KBBI atau malah sebaliknya.
Mengapa demikian?

Itu karena politisasi. Bahasa nasional ini sudah sering dipolitisasi demi kepentingan penguasa. Pusat Bahasa, sebagai regulator bahasa, hanya sekedar formalitas belaka. Meneliti, mengeluarkan KBBI, mengadakan seminar, tetapi hasilnya bisa dilihat sekarang. Semuanya beragam dan tidak konsisten. Akibatnya, menjadi sesuatu yang sulit bagi masyarakat, dan juga orang-orang yang berhadapan dengan masalah kebahasaan seperti saya ini, yang pekerjaannya sebagai editor di sebuah majalah berita ternama. Pusat Bahasa memang tidak tegas. Ini tentu beda dengan Dewan Bahasa dan Pustaka-nya Malaysia, yang malah benar-benar menjadi regulator. Tidak ada politisasi di dalamnya, termasuk campur tangan penguasa. Boleh dibilang, Malaysialah yang lebih kreatif dalam berbahasa daripada Indonesia.

Keadaan demikian juga mengingatkan saya jika naik angkot. Tidak adanya ketegasan dari regulator transportasi menyebabkan tarif bervariasi. Entah itu 2.000 atau 2.500. Yah, itu semua karena politisasi. Entahlah, apa saya nanti juga dipolitisasi?

Ini sebenarnya ungkapan yang begitu klasik. Biasanya terjadi pada orang-orang asing yang ingin pergi ke Bali.

Where will you go for your holiday?
I will go to Bali.
Bali? do you mean Indonesia?
Indonesia? what's that? is that a part of Bali?
No, Indonesia is a country and Bali belongs to its.

Jika kita mendengar hal-hal yang seperti itu sesungguhya kita ingin tertawa sekaligus sedih. Mengapa? karena kebanyakan orang-orang asing sampai sekarang hanya mengenal Bali bukan Indonesia dan mengatakan Indonesia adalah bagian dari Bali. Ungkapan itu kembali lagi populer dalam dunia fiksi ketika sebuah film yang diangkat dari kisah nyata berjudul eat pray love yang dibintangi Julia Roberts menyatakan dalam trailer dengan menyebutkan beberapa tempat yang dikunjungi si tokoh utama yaitu, Italy, India, and Bali.

Dari ungkapan itu juga seakan-akan menegaskan Bali seperti bukan bagian dari Indonesia dalam kamus pariwisata internasional. Ya saya yang mendengarnya agak menyesali dengan istilah itu dan ingin mengubahnya terutama orang-orang asing tersebut yang sudah terpatron dengan istilah Bali saja. Orang-orang Bali sendiri saya yakin tidak bermaksud demikian.

Namun lepas dari itu semua, Bali memang sebuah pulau dan provinsi yang unik di Indonesia. Inilah satu-satunya provinsi dengan kebanyakan mayoritas penduduknya beragama Hindu. Maka tak heran bila di Bali ditemukan banyak pura dan segala macam yang berbau Hindu.

Di Bali adat-istiadat masih dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat Bali yang juga toleran terhadap pendatang orang-orang dari mancanegara. Karena keteguhannya tak heran jika orang-orang Bali tidak terkejut dengan budaya yang dibawa orang-orang tersebut khusunya yang berasal dari Amerika, Eropa, dan Australia. Akan tetapi budaya toleran di Bali juga mempunyai batas. Masih ingat kasus pembuatan film gigolo di Bali atau penghinaan hari Nyepi yang membuat semua masyarakat mayoritas Hindu Bali geram? Hal tersebut menunjukkan bahwa segala macam adat-istiadat harus dihormati dan tidak boleh dijadikan singgungan. 

Bali memang sebuah pulau dan provinsi yang terkenal dengan pariwisata dan industrinya. Sepertinya tak salah jika Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dalam dua tahun terakhir berasal dari Bali seperti I Gede Ardika dan Jero Wacik. Bahkan nama yang terakhir sedang menjabat untuk periode kedua. Karena berlatarbelakang Bali tentu saja mereka paham mengenai seluk-beluk pariwisata di Bali yang selanjutnya disalurkan ke beberapa provinsi lain agar seperti Bali. Pada masa Jero Wacik mulai digalakkan kembali slogan Visit Indonesia Year sejak 2008 dan sejak pemberlakuan slogan itu beberapa provinsi di Indonesia mulai dipromosikan pariwisatanya. Dengan demikian Indonesia tidak hanya tergantung pada Bali pada sektor ini meskipun hingga saat ini harus diakui bahwa Bali masih merupakan penghasil devisa terbesar dari pariwisata.

Bali dalam gambaran umum memang digambarkan sebagai pulau yang damai dan tenang meskipun itu sempat rusak pada 2002 dan 2005 karena serangan bom bunuh diri. Namun, setelah itu perlahan tapi pasti Bali seperti menemukan kembali ketenangannya.

Dalam sejarah republik ini, Bali bersama-sama dengan Aceh adalah provinsi yang paling lama ditaklukkan Belanda dikarenakan semangat para penduduknya yang gigih menentang kekuasaan asing. Belanda baru bisa menaklukkan pulau ini melalui serangkaian ekspedisi militernya pada 1907 dan pada 1930 Bali mulai dipromosikan sebagai tempat pariwisata oleh beberapa orang seperti Walter Spies. Sejak saat itu banyak orang-orang dari mancanegara tertarik ke Bali karena keindahan alamnya dan juga kedamaian yang ditunjukkan penduduknya. Dari sini ungkapan Bali mulai meluas tanpa harus menyebut ia sebagai bagian dari sesuatu. Akan tetapi, beberapa dari mereka yang sadar lama-kelamaan akan menyebut Bali sebagai bagian dari Indonesia bukan Indonesia bagian dari Bali.


RMS dan OPM: Antara Politis dan Etnis

RMS dan OPM. Dua nama itu masih saja bergentayangan di negara kesatuan ini. Namun dengan cara yang agak berbeda meskipun keduanya sama-sama dari Indonesia Timur yang mewakili Maluku dan Papua. RMS atau Republik Maluku Selatan tidaklah seagresif pada masa-masa dahulu ketika didirikan dengan mendirikan sayap militer yang dibantu Belanda untuk memisahkan diri dan kemudian setelah ditumpas melanjutkan perjuangannya di pengasingan tepatnya di Belanda sebagai basis kekuatan. Sedangkan OPM atau Organisasi Papua Merdeka lebih mengutamakan perjuangan dengan kontak-kontak fisik terhadap TNI/POLRI dan menjadikan orang-orang yang bekerja di Freeport atau orang-orang bukan asli Papua sebagai sasaran.

Bila dilihat dari motifnya jelas kedua organisasi separatis ini berdiri karena tujuan yang berbeda meskipun mereka sama-sama mempunyai ras melanesia. RMS ada karena keinginan politis dr. CH. Soumokil yang melihat peluang dibubarkannya RIS dan juga Negara Indonesia Timur sebagai bagian dari RIS. Keinginan politis itu juga didasarkan pada ketakutan Soumokil akan kekuatan Republik Indonesia yang baru saja kembali dibentuk usai RIS dibubarkan. Soumokil sendiri adalah seorang jaksa pro Belanda dan kaki tangan van Mook sewaktu terjadinya agresi militer dan mendukung sepenuhnya pembentukan RIS. Jika RIS bubar ia menginginkan agar Maluku Selatan yang terdiri dari Ambon dan Seram dapat berdiri sendiri dan memang dengan dukungan bantuan militer dari Belanda ia berani memproklamirkan RMS hingga kemudian mengundang TNI untuk menumpas setelah diplomasi gagal.

Usai ditumpas gerakan separatis ini melanjutkan perjuangannya di Belanda dengan ditandai oleh eksodusnya para prajurit RMS eks KNIL yang pro-Belanda. Di Belanda organisasi ini terkenal karena teror-teror ledakan bunuh diri dan pembajakan atas kedutaan Indonesia dan kereta penumpang. Diketahui motif mereka melakukan ini karena kecewa terhadap pemerintah Belanda yang tidak lagi mendukung mereka untuk merdeka dari Indonesia.

Pada masa sekarang lewat kekuatan di pengasingan organisasi separatis ini lebih pada kekuatan yang diplomatif namun juga provokatif seperti yang ditunjukkan di Harganas 2007. Lagipula itu didasarkan pada keadaan di Ambon dan sekitarnya yang sudah tidak seperti dahulu lagi karena kebanyakan masyarakat Maluku yang sudah bercampur dengan pendatang lebih memilih melupakan RMS sebagai masa lalu yang kelam. Hanya sebagian kecil saja yang masih loyal terhadap RMS. Pada akhirnya beberapa pemimpin RMS di pengasingan mencoba untuk memilih jalur otonomi penuh meskipun tujuan untuk merdeka tetap tidak terlupakan.

Jika RMS ada karena alasan politis maka OPM ada karena masalah etnis. Seperti kita ketahui secara umum bahwa gambaran fisik orang-orang Papua dengan masyarakat Indonesia lainnya sangat berbeda dan mencolok. Dasar itulah yang menjadi pembentukan OPM pada 1971. Selain itu ketidakketerkaitan sejarah juga menjadi penyebab meskipun tempat OPM berada, Papua termasuk dalam Pax Neerlandica. Ketika Papua termasuk dalam keterikatan ini beberapa daerah seperti Boven Digoel menjadi saksi bisu penangkapan para aktivis pergerakan Indonesia merdeka oleh Belanda. Jauh beberapa abad sebelumnya beberapa kerajaan Islam di Papua seperti di Raja Ampat, Fak-fak, dan Kaimana juga melakukan perlawanan dengan Belanda.

Namun, hal-hal tersebut tetap saja dibantah dan keinginan OPM untuk merdeka semakin kuat. Beberapa pihak dari gerakan separatis ini meyakini bahwa mereka adalah buah permainan mata antara Belanda dan Indonesia ketika terjadi konflik Indonesia-Belanda pada awal 60-an dan dilanjutkan dengan Pepera pada 1969. Keinginan kuat itu semakin bertambah dengan Papua yang pada masa dahulu bernama Irian Jaya menjadi provinsi yang paling tidak pernah diperhatikan karena masyarakatnya masih dianggap primitif. Apalagi dengan tewasnya dua pemimpin utama mereka seperti Dortheys Hiyo Eluay dan Kelly Kwalik menjadikan perlawanan organisasi ini menjadi-jadi. Ketika Papua diberi otonomi khusus oleh pemerintah RI mereka tetap menolak karena dianggap gagal. Majelis Rakyat Papua juga mengamini hal tersebut. Gerakan mereka pun gencar dipromosikan ke luar negeri terutama ke Papua Nugini dan Australia. Bahkan salah satu partai Australia, Partai Hijau mengumumkan mendukung gerakan ini dan juga beberapa negara di Oseania meskipun kemudian ditarik kembali. Hingga hari OPM masih terus melancarkan serangan membabi-buta terhadap siapapun yang dianggap dari Indonesia terutama TNI/POLRI yang mereka anggap telah melakukan banyak pelanggaran.

Memang jika melihat keadaan diatas ternyata cukup sulit untuk menyatukan semua aspirasi yang ada. Pada dasarnya gerakan-gerakan ini timbul tak hanya dari ketidakadilan tetapi juga karena perbedaan pandangan pada masa lalu. Untuk saat ini baik RMS dan OPM akan tetap dipandang sebagai ancaman meskipun intensitas ancaman lebih kepada OPM yang gemar melakukan teror di pedalaman Papua. Namun, bagaimanapun keadaan yang demikian jangan dibiarkan berlarut-larut. Harus ada tindakan tegas dan pemberian jaminan terutama kehidupan yang makmur. Itu yang seharusnya juga dipikirkan pemerintah pusat yang hanya bisa menindak tanpa menjamin. 

Dominasi Jawa

Ini sebenarnya pemandangan yang umum dan ada di sekitar kita. Memang tak banyak yang menyadari dan hanya segelintir yang tahu ketika nanti ia akan berurusan. Jawa, sebutan singkat untuk orang Jawa adalah orang-orang dari suku Jawa, salah satu suku di Indonesia yang mempunyai asal dari Jawa Tengah termasuk juga Yogyakarta dan Jawa Timur. Suku ini adalah sebagaimana suku-suku di Indonesia terutama di Indonesia bagian barat adalah keturunan langsung dari ras austronesia muda dan juga deutero melayu.

Di Indonesia Jawa adalah suku terbesar dengan jumlah populasi yang merupakan setengah dari jumlah penduduk Indonesia. Keberadaan mereka tidak hanya di Jawa saja terutama asal mereka namun juga di provinsi-provinsi lain seluruh Indonesia bahkan ke luar negeri hingga Suriname. Jadi, bisa dikatakan jika kita bepergian ke seluruh Indonesia saja maka tidak akan pernah kesulitan menemukan suku yang satu ini.

Aslinya suku Jawa adalah suku yang membasiskan kehidupannya pada pertanian namun suku ini juga mampu bergerak di berbagai bidang bahkan yang penting sekalipun seperti militer, pemerintahan, hukum, pendidikan, dan juga politik. Di Indonesia hampir semua bidang itu pasti akan ada selalu suku Jawa.

Bisa dikatakan memang suku Jawa adalah suku yang dominan dalam segala hal di Indonesia. Keadaan itu terjadi karena prinsip hidup mereka yang mau menerima nasib dalam keadaan apa saja termasuk bekerja. Jadi, bisa dikatakan orang-orang dari suku ini tidak mau mengeluh sekalipun dengan keadaan mereka dan menerima itu dengan ikhlas. Keikhlasan itu yang mengantarkan mereka pada kesuksesan. Selain itu memang Suku Jawa-tanpa maksud memandang suku lain-adalah suku yang dikatakan mempunyai segala macam peraturan perundangan yang menyangkut tata hidup yang lengkap seperti sopan-santun meskipun rumit dalam prosesnya.
Pada masa Hindia-Belanda karena keistimewaan sejarahnya dibandingkan dengan suku-suku lain di Indonesia, Belanda selalu menganakemaskan Jawa terutama yang keturunan bangsawan untuk bisa bersekolah ala Belanda. Selain itu dalam kesatuan militer Hindia-Belanda, KNIL, Belanda juga menempatkan suku ini dalam jajarannya meskipun itu hanya diserahi tugas-tugas yang kooperatif dan diplomatif dibandingkan dengan suku dari Maluku dan Minahasa yang ditempatkan sebagai penyerang.

Dalam sejarah presiden Indonesia, kebanyakan presiden-presiden Indonesia adalah orang Jawa. Hanya beberapa saja dari luar Jawa. Memang jika orang Jawa yang memimpin ada semacam kewibawaan tersendiri di hadapan suku-suku lain.

Meskipun demikian ada yang kurang suka dengan dominasi Jawa dalam segala bidang hingga sampai-sampai peraturan dibuat dengan ala Jawa. Pada masa Soeharto, presiden kedua RI ini melakukan Jawanisasi di segala bidang yaitu dengan menghilangkan peraturan-peraturan adat atau daerah yang berbeda dengan Jawa dan kemudian setelah Soeharto lengser peraturan-peraturan yang hilang dimunculkan kembali sesuai dengan semangat otonomi daerah yang berlaku. 

Prasangka-prasangka kesukuan juga mulai menyerang Jawa secara terang-terangan. Dalam pandangan suku lain, suku ini dianggap mempunyai kelemahan seperti bicara berputar-putar, terlalu lemah-lembut, dan feodal terutama dalam birokrasi pemerintah yang sampai sekarang masih ada. Akan tetapi dibalik itu semua mereka adalah suku yang rajin dan tidak mau macam-macam dengan suatu permasalahan.

Dominasi Jawa di Indonesia juga tidak sebatas pada itu saja tetapi juga pada pusat pemerintahan, teknologi, industri, transportasi, dan olahraga semua dipusatkan pada Pulau Jawa. Hal ini yang terkadang membuat pulau lain iri terutama di Indonesia Timur dan meminta kesetaraan.

Saya meskipun punya darah Jawa terkadang memandang dominasi ini dari dua sisi positif dan negatif. Kedua sisi ini perlu bagi saya untuk melakukan penilaian karena dibalik yang positif ada juga negatif begitu juga sebaliknya. Hanya saja saya meminta supaya dalam pucuk pemerintahan mendatang hendaknya diberikan kepada orang-orang di Indonesia Timur karena jika terpilih orang-orang ini akan memprioritaskan daerahnya yang banyak tertinggal sedangkan orang-orang Jawa ada baiknya duduk sebagai penasehat atau pengawas.

Pada 1992, sebuah kelompok musik dari Jakarta, KLA Project memunculkan sebuah lagu berjudul "Yogyakarta". Sebuah lagu yang bertemakan dan berisi tentang Yogyakarta luar-dalam. Lagu itu kemudian menjadi populer dan karenanya kelompok musik itu diberikan penghargaan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X, penguasa Yogyakarta kala itu yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Yogyakarta enam tahun kemudian. Penghargaan itu hadir karena KLA telah secara tersirat mempromosikan Yogyakarta sebagai tujuan wisata yang istimewa.

Ya, Yogyakarta memang istimewa. Bukan hanya dari dia sebagai tempat wisata yang selalu menarik minat banyak orang untuk mengunjunginya setelah Bali. Namun, Yogyakarta baik itu kota dan provinsi memang sudah ditakdirkan seperti itu.

Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY atau Yogya untuk lebih praktisnya adalah sebuah provinsi di Indonesia yang embel-embel daerah istimewanya bukan belaka semata saja. Provinsi terkecil nomor dua di Indonesia setelah DKI Jakarta ini adalah satu-satunya provinsi yang masih berbentuk monarki dan karenanya pucuk pimpinan dipegang oleh raja setempat yang juga berposisi sebagai gubernur dalam hal ini, Sri Sultan HB X. Keistimewaan inilah yang tidak ada pada provinsi-provinsi lain yang kebanyakan jabatan kepala daerah dipegang oleh orang-orang sipil.

Keberadaan Yogyakarta sebagai sebuah kesultanan tentu sudah ada sejak dahulu sebelum provinsinya dan republik ini berdiri. Sejak 1775 kesultanan ini berada di bumi sebagai akibat perjanjian Giyanti dengan Belanda yang membuat Mataram menjadi dua yaitu, Yogyakarta dan Surakarta.

Dalam perjalanan sejarahnya, kesultanan Yogyakarta telah melakukan perlawanan yang gigih terhadap Belanda bahkan beberapa kerabat kerajaan seperti Pangeran Diponegoro adalah salah satunya. Ketika RI diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, seketika itu kesultanan Yogyakarta dan kadipaten di bawahnya, Paku Alaman menyatakan diri sebagai bagian dari NKRI dan setelah  itu daerah kesultanan menjadi saksi bisu perjuangan mempertahankan kemerdekaan seperti serangan mendadak Belanda pada Agresi Militer ke-2, Serangan Umum 1 Maret, pemindahan kekuasaan dari Jakarta ke Yogyakarta hingga tertangkapnya para founding-fathers oleh Belanda. 

Keadaan seperti itu juga yang menginspirasikan banyak seniman untuk mengabadikan Yogyakarta dalam banyak karya antara lain melalui sastra, musik, dan film hingga sekarang.

Karena keistimewaan yang dimilikinya maka pada 1950, pemerintah RI menetapkan Yogyakarta sebagai provinsi terpisah dari Jawa Tengah dengan status Daerah Istimewa. Sampai sekarang boleh dibilang Kesultanan Yogyakarta adalah satu-satunya kesultanan swapraja yang masih eksis dengan membentuk pemerintahan sendiri setingkat provinsi jika dibandingkan dengan kesultanan-kesultanan swapraja lainnya seperti Surakarta, Ternate, Palembang, Pontianak, Cirebon, dan sebagainya. Kesultanan-kesultanan seperti tadi harus menjadi bagian dari provinsi tersebut dan tunduk pada wewenang yang berlaku sehingga jarang terdengar ke permukaan. Daerah-daerah ini pada masa Hindia-Belanda termasuk juga Yogyakarta mendapat status otonomi zelfsbesturen yaitu, berhak mengurus pemerintahannya sendiri.

Keistimewaan Yogyakarta yang lain adalah karena disinilah berdiri sebuah perguruan tinggi ternama dan pertama di Indonesia, yaitu Universitas Gajah Mada pada 1950 dan setelah berdiri banyak universitas lain yang membuat Yogyakarta disebut sebagai kota pelajar.

Namun, tak hanya itu Yogyakarta juga mempunyai sisi hitam karena banyaknya perempuan yang sudah memiliki status tidak perawan dan menjadi pertanyaan bagaimana bisa di sebuah wilayah yang menjunjung tinggi adat sopan-santun Jawa hal demikian bisa terjadi?

Beberapa tahun yang lalu sempat ada upaya untuk membuat UU yang baru mengenai tata pemerintahan di Yogyakarta yang menghendaki agar pucuk pimpinan daerah dipilih langsung oleh rakyat karena selama ini di Yogyakarta jarang sekali ada pemilihan seperti itu. Pemilihan yang ada sudah pasti melalui musyawarah badan-badan setempat dengan tetap menetapkan Sri Sultan sebagai gubernur dan Sri Adipati Paku Alaman sebagai wakil gubernur. UU yang baru itu nantinya juga akan memisahkan penyelenggaran pemerintahan dengan kesultanan dan juga keadipatian. Jelas, bila dilihat sekilas itu tandanya akan membuat pihak sipil bisa menjadi gubernur di Yogyakarta. Sontak saja, UU yang baru itu memancing banyak reaksi karena akan menghilangkan status keistimewaan Yogyakarta. Hingga sekarang UU yang diributkan itu  masih dalam proses yang tidak jelas.

Bagaimanapun, dalam ranah negara yang heterogen ini menghilangkan keistimewaan suatu daerah berarti menghilangkan juga salah satu keheterogenan  dan keunikan yang ada. Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa tentunya harus selalu kita hormati keberadaannya dengan sifat yang masih absolut. Lagipula, wibawa Sri Sultan sebagai penguasa Yogyakarta masih mempunyai wibawa di mata masyarakat Yogya. Wibawa itu tidak hanya sebatas pada status sebagai raja namun juga sebagai gubernur provinsi. Meskipun negara ini bersifat demokratis namun demokratisasi yang ada seharusnya tidak menyinggung hal-hal yang dianggap sensitif. 

Sheila ON 7-Hari Bersamanya