Pada 1992, sebuah kelompok musik dari Jakarta, KLA Project memunculkan sebuah lagu berjudul "Yogyakarta". Sebuah lagu yang bertemakan dan berisi tentang Yogyakarta luar-dalam. Lagu itu kemudian menjadi populer dan karenanya kelompok musik itu diberikan penghargaan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X, penguasa Yogyakarta kala itu yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Yogyakarta enam tahun kemudian. Penghargaan itu hadir karena KLA telah secara tersirat mempromosikan Yogyakarta sebagai tujuan wisata yang istimewa.

Ya, Yogyakarta memang istimewa. Bukan hanya dari dia sebagai tempat wisata yang selalu menarik minat banyak orang untuk mengunjunginya setelah Bali. Namun, Yogyakarta baik itu kota dan provinsi memang sudah ditakdirkan seperti itu.

Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY atau Yogya untuk lebih praktisnya adalah sebuah provinsi di Indonesia yang embel-embel daerah istimewanya bukan belaka semata saja. Provinsi terkecil nomor dua di Indonesia setelah DKI Jakarta ini adalah satu-satunya provinsi yang masih berbentuk monarki dan karenanya pucuk pimpinan dipegang oleh raja setempat yang juga berposisi sebagai gubernur dalam hal ini, Sri Sultan HB X. Keistimewaan inilah yang tidak ada pada provinsi-provinsi lain yang kebanyakan jabatan kepala daerah dipegang oleh orang-orang sipil.

Keberadaan Yogyakarta sebagai sebuah kesultanan tentu sudah ada sejak dahulu sebelum provinsinya dan republik ini berdiri. Sejak 1775 kesultanan ini berada di bumi sebagai akibat perjanjian Giyanti dengan Belanda yang membuat Mataram menjadi dua yaitu, Yogyakarta dan Surakarta.

Dalam perjalanan sejarahnya, kesultanan Yogyakarta telah melakukan perlawanan yang gigih terhadap Belanda bahkan beberapa kerabat kerajaan seperti Pangeran Diponegoro adalah salah satunya. Ketika RI diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, seketika itu kesultanan Yogyakarta dan kadipaten di bawahnya, Paku Alaman menyatakan diri sebagai bagian dari NKRI dan setelah  itu daerah kesultanan menjadi saksi bisu perjuangan mempertahankan kemerdekaan seperti serangan mendadak Belanda pada Agresi Militer ke-2, Serangan Umum 1 Maret, pemindahan kekuasaan dari Jakarta ke Yogyakarta hingga tertangkapnya para founding-fathers oleh Belanda. 

Keadaan seperti itu juga yang menginspirasikan banyak seniman untuk mengabadikan Yogyakarta dalam banyak karya antara lain melalui sastra, musik, dan film hingga sekarang.

Karena keistimewaan yang dimilikinya maka pada 1950, pemerintah RI menetapkan Yogyakarta sebagai provinsi terpisah dari Jawa Tengah dengan status Daerah Istimewa. Sampai sekarang boleh dibilang Kesultanan Yogyakarta adalah satu-satunya kesultanan swapraja yang masih eksis dengan membentuk pemerintahan sendiri setingkat provinsi jika dibandingkan dengan kesultanan-kesultanan swapraja lainnya seperti Surakarta, Ternate, Palembang, Pontianak, Cirebon, dan sebagainya. Kesultanan-kesultanan seperti tadi harus menjadi bagian dari provinsi tersebut dan tunduk pada wewenang yang berlaku sehingga jarang terdengar ke permukaan. Daerah-daerah ini pada masa Hindia-Belanda termasuk juga Yogyakarta mendapat status otonomi zelfsbesturen yaitu, berhak mengurus pemerintahannya sendiri.

Keistimewaan Yogyakarta yang lain adalah karena disinilah berdiri sebuah perguruan tinggi ternama dan pertama di Indonesia, yaitu Universitas Gajah Mada pada 1950 dan setelah berdiri banyak universitas lain yang membuat Yogyakarta disebut sebagai kota pelajar.

Namun, tak hanya itu Yogyakarta juga mempunyai sisi hitam karena banyaknya perempuan yang sudah memiliki status tidak perawan dan menjadi pertanyaan bagaimana bisa di sebuah wilayah yang menjunjung tinggi adat sopan-santun Jawa hal demikian bisa terjadi?

Beberapa tahun yang lalu sempat ada upaya untuk membuat UU yang baru mengenai tata pemerintahan di Yogyakarta yang menghendaki agar pucuk pimpinan daerah dipilih langsung oleh rakyat karena selama ini di Yogyakarta jarang sekali ada pemilihan seperti itu. Pemilihan yang ada sudah pasti melalui musyawarah badan-badan setempat dengan tetap menetapkan Sri Sultan sebagai gubernur dan Sri Adipati Paku Alaman sebagai wakil gubernur. UU yang baru itu nantinya juga akan memisahkan penyelenggaran pemerintahan dengan kesultanan dan juga keadipatian. Jelas, bila dilihat sekilas itu tandanya akan membuat pihak sipil bisa menjadi gubernur di Yogyakarta. Sontak saja, UU yang baru itu memancing banyak reaksi karena akan menghilangkan status keistimewaan Yogyakarta. Hingga sekarang UU yang diributkan itu  masih dalam proses yang tidak jelas.

Bagaimanapun, dalam ranah negara yang heterogen ini menghilangkan keistimewaan suatu daerah berarti menghilangkan juga salah satu keheterogenan  dan keunikan yang ada. Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa tentunya harus selalu kita hormati keberadaannya dengan sifat yang masih absolut. Lagipula, wibawa Sri Sultan sebagai penguasa Yogyakarta masih mempunyai wibawa di mata masyarakat Yogya. Wibawa itu tidak hanya sebatas pada status sebagai raja namun juga sebagai gubernur provinsi. Meskipun negara ini bersifat demokratis namun demokratisasi yang ada seharusnya tidak menyinggung hal-hal yang dianggap sensitif. 

Sheila ON 7-Hari Bersamanya