RMS dan OPM: Antara Politis dan Etnis

RMS dan OPM. Dua nama itu masih saja bergentayangan di negara kesatuan ini. Namun dengan cara yang agak berbeda meskipun keduanya sama-sama dari Indonesia Timur yang mewakili Maluku dan Papua. RMS atau Republik Maluku Selatan tidaklah seagresif pada masa-masa dahulu ketika didirikan dengan mendirikan sayap militer yang dibantu Belanda untuk memisahkan diri dan kemudian setelah ditumpas melanjutkan perjuangannya di pengasingan tepatnya di Belanda sebagai basis kekuatan. Sedangkan OPM atau Organisasi Papua Merdeka lebih mengutamakan perjuangan dengan kontak-kontak fisik terhadap TNI/POLRI dan menjadikan orang-orang yang bekerja di Freeport atau orang-orang bukan asli Papua sebagai sasaran.

Bila dilihat dari motifnya jelas kedua organisasi separatis ini berdiri karena tujuan yang berbeda meskipun mereka sama-sama mempunyai ras melanesia. RMS ada karena keinginan politis dr. CH. Soumokil yang melihat peluang dibubarkannya RIS dan juga Negara Indonesia Timur sebagai bagian dari RIS. Keinginan politis itu juga didasarkan pada ketakutan Soumokil akan kekuatan Republik Indonesia yang baru saja kembali dibentuk usai RIS dibubarkan. Soumokil sendiri adalah seorang jaksa pro Belanda dan kaki tangan van Mook sewaktu terjadinya agresi militer dan mendukung sepenuhnya pembentukan RIS. Jika RIS bubar ia menginginkan agar Maluku Selatan yang terdiri dari Ambon dan Seram dapat berdiri sendiri dan memang dengan dukungan bantuan militer dari Belanda ia berani memproklamirkan RMS hingga kemudian mengundang TNI untuk menumpas setelah diplomasi gagal.

Usai ditumpas gerakan separatis ini melanjutkan perjuangannya di Belanda dengan ditandai oleh eksodusnya para prajurit RMS eks KNIL yang pro-Belanda. Di Belanda organisasi ini terkenal karena teror-teror ledakan bunuh diri dan pembajakan atas kedutaan Indonesia dan kereta penumpang. Diketahui motif mereka melakukan ini karena kecewa terhadap pemerintah Belanda yang tidak lagi mendukung mereka untuk merdeka dari Indonesia.

Pada masa sekarang lewat kekuatan di pengasingan organisasi separatis ini lebih pada kekuatan yang diplomatif namun juga provokatif seperti yang ditunjukkan di Harganas 2007. Lagipula itu didasarkan pada keadaan di Ambon dan sekitarnya yang sudah tidak seperti dahulu lagi karena kebanyakan masyarakat Maluku yang sudah bercampur dengan pendatang lebih memilih melupakan RMS sebagai masa lalu yang kelam. Hanya sebagian kecil saja yang masih loyal terhadap RMS. Pada akhirnya beberapa pemimpin RMS di pengasingan mencoba untuk memilih jalur otonomi penuh meskipun tujuan untuk merdeka tetap tidak terlupakan.

Jika RMS ada karena alasan politis maka OPM ada karena masalah etnis. Seperti kita ketahui secara umum bahwa gambaran fisik orang-orang Papua dengan masyarakat Indonesia lainnya sangat berbeda dan mencolok. Dasar itulah yang menjadi pembentukan OPM pada 1971. Selain itu ketidakketerkaitan sejarah juga menjadi penyebab meskipun tempat OPM berada, Papua termasuk dalam Pax Neerlandica. Ketika Papua termasuk dalam keterikatan ini beberapa daerah seperti Boven Digoel menjadi saksi bisu penangkapan para aktivis pergerakan Indonesia merdeka oleh Belanda. Jauh beberapa abad sebelumnya beberapa kerajaan Islam di Papua seperti di Raja Ampat, Fak-fak, dan Kaimana juga melakukan perlawanan dengan Belanda.

Namun, hal-hal tersebut tetap saja dibantah dan keinginan OPM untuk merdeka semakin kuat. Beberapa pihak dari gerakan separatis ini meyakini bahwa mereka adalah buah permainan mata antara Belanda dan Indonesia ketika terjadi konflik Indonesia-Belanda pada awal 60-an dan dilanjutkan dengan Pepera pada 1969. Keinginan kuat itu semakin bertambah dengan Papua yang pada masa dahulu bernama Irian Jaya menjadi provinsi yang paling tidak pernah diperhatikan karena masyarakatnya masih dianggap primitif. Apalagi dengan tewasnya dua pemimpin utama mereka seperti Dortheys Hiyo Eluay dan Kelly Kwalik menjadikan perlawanan organisasi ini menjadi-jadi. Ketika Papua diberi otonomi khusus oleh pemerintah RI mereka tetap menolak karena dianggap gagal. Majelis Rakyat Papua juga mengamini hal tersebut. Gerakan mereka pun gencar dipromosikan ke luar negeri terutama ke Papua Nugini dan Australia. Bahkan salah satu partai Australia, Partai Hijau mengumumkan mendukung gerakan ini dan juga beberapa negara di Oseania meskipun kemudian ditarik kembali. Hingga hari OPM masih terus melancarkan serangan membabi-buta terhadap siapapun yang dianggap dari Indonesia terutama TNI/POLRI yang mereka anggap telah melakukan banyak pelanggaran.

Memang jika melihat keadaan diatas ternyata cukup sulit untuk menyatukan semua aspirasi yang ada. Pada dasarnya gerakan-gerakan ini timbul tak hanya dari ketidakadilan tetapi juga karena perbedaan pandangan pada masa lalu. Untuk saat ini baik RMS dan OPM akan tetap dipandang sebagai ancaman meskipun intensitas ancaman lebih kepada OPM yang gemar melakukan teror di pedalaman Papua. Namun, bagaimanapun keadaan yang demikian jangan dibiarkan berlarut-larut. Harus ada tindakan tegas dan pemberian jaminan terutama kehidupan yang makmur. Itu yang seharusnya juga dipikirkan pemerintah pusat yang hanya bisa menindak tanpa menjamin. 


0 komentar:

Posting Komentar

Sheila ON 7-Hari Bersamanya