Menang-Kalah lalu seri?

Dalam sebuah pertandingan olahraga, khususnya sepak bola, sebagai penonton kita selalu melihat, bahkan berharap, ada yang kalah dan menang. Kalah dan menang memang dua kata yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini apalagi di olahraga seperti sepak bola yang ditentukan dalam 2 x 45 menit. Di dalam olahraga, kalah dan menang memang terlihat eksplisit, sedangkan dalam bidang lainnya bisa implisit, seperti dalam berpolitik. Tentu saja masyarakat lebih menginginkan yang eksplisit daripada implisit. Alasannya, adalah lebih mudah diketahui dan tidak perlu meraba-raba lagi apa yang telah terjadi. Atau juga mungkin daya tangkap dan pikir tiap orang bisa berbeda-beda


Tetapi, bagaimana bila sesuatu yang eksplisit itu bisa menjadi bumerang? Padahal, itu sangat diharap-harapkan?


Kenyataannya, hal yang demikian memang sering terjadi. Karena tujuan sebenarnya dari sebuah pertandingan adalah mencari kalah dan menang, maka kalau yang menang pasti gembira dan bersyukur, yang kalah sedih, sabar, dan meratapi, tetapi kemudian sadar masih ada esok untuk bisa berprestasi dan menang. Tentulah sebenarnya itu yang diharapkan. Menang-kalah disikapi dengan sewajarnya. Akan tetapi, bagaimana kalau tidak?


Jangan tanyakan kalau yang seperti itu terjadi negara-negara maju, meski dalam beberapa hal ada juga kejadian demikian. Kebanyakan, diakui, itu terjadi di negara-negara yang sedang mengarah maju. Menang-kalah bisa disikapi dengan tidak sewajarnya alias berlebihan. Pada saat seperti inilah, menang dan kalah tidak ada artinya sama sekali. Menang dan kalah hanya sebatas di bibir.
Kemudian muncul keinginan tidak perlu ada menang dan kalah. Yang ada seri saja biar adil. Meski nyatanya terlalu dipaksakan juga untuk bisa mencapai hasil yang demikian. Logikanya, kalau tim itu terlalu kuat bagi tim satunya masa iya harus "dipaksakan" main seri demi terciptanya sesuatu yang adil dan tidak menimbulkan keskisruhan? Atau bisa main seri karena keberuntungan dan sama-sama kuat.


Apa pun itu, kalah dan menang tetap dibutuhkan, tetapi harus yang alami. Bukan dibuat-buat apalagi untuk mencapai nomina besar.



Mencari Kata-Kata Konsisten

Konsisten. Nampaknya, hal demikian amat sulit ditemukan, terutama di republik ini . Konsisten, sejujurnya hanya terdiri dari sembilan huruf. Tetapi, tampaknya sembilan huruf itu menjadi perkara yang gampang ketika diucapkan, baik dalam normal maupun cepat. Anak kecill saja bisa mengucapkannya, jika diajarkan. Perihal konsisten, yang mungkin dan bukan tidak mungkin, bisa disinonimkan dengan keteguhan, ketetapan, atau sesuatu yang sifatnya tetap alias tidak berubah-ubah. Meski disinonimkan, tetap saja konsisten yang menang. Cara pengucapannya yang diletupkan keluar secara fonologis, membuat orang-orang tampak lebih merasa "keren" statusnya ketika mengucapkannya.

Wajar, karena konsisten itu sendiri berasal dari bahasa rumpun germanik, Inggris dan Belanda, consistent. Wajar juga karena sesuatu yang bersifat asing akan selalu dikerubuti oleh pemakai bahasa di negeri ini, ketika ada suatu titik kebingungan saat hendak berucap.

Tetapi, saya tidak mau berpanjang-lebar mengenai konsisten ini. Toh, saya juga menggunakannya. Yang saya ingin paparkan adalah kata-kata yang konsisten. Jika kata-kata itu konsisten, itu berarti kata-kata haruslah mempunyai suatu ketegasan, ketetapan, dan tidak berubah-ubah. Kata-kata yang demikian amat sangat diperlukan, terutama bagi mereka yang hendak belajar bahasa Indonesia, baik lokal maupun asing.

Konsistennya sebuah kata, bisa dilihat dari strukturnya yang tidak pernah berubah-ubah selama berpuluh-puluh tahun. Keadaan demikian, membuat pemakainya  terus-menerus memakainya, dan menjadikan yang demikian sebagai pedoman utuh. Ini tentu, kalau sudah diyakini, tidak perlu lagi tanya ini-itu atau melihat kamus. Melihat kamus pun juga untuk mencari definisi meskipun itu tentatif dan relatif.

Bagaimana jika sebaliknya?

Tentu yang demikian amat sangat merepotkan. Bagi pembelajar bahasa atau yang berhadapan dengan bahasa, masalah demikian memang riskan. Apalagi bagi orang-orang di luar tersebut.

Itu sih lain cerita kalau di negara maju. Di Indonesia? kalau boleh memilih, tentu Anda akan mengatakan secara pasti keadaan nomor dua.

Ya! itu betul! di sini memang tidak konsisten. Terlalu banyak ketidakkonsistenan. Merasuk ke dalam kata-kata, baik secara struktural maupun secara logika. Di banyak tempat, terutama di media massa dan penerbitan, pasti berbeda penerapan kata-kata itu. Di tempat yang satu menuruti si anu, di tempat ini juga menuruti si anu. Pada akhirnya, terciptalah keragaman, tetapi dalam konteks yang negatif. Hal demikian memang menyulitkan, bukan saja si pekerja bahasa, tetapi masyarakat awam, terutama anak-anak sekolah. Kalau yang peduli akan bertanya pada gurunya, yang tidak peduli sebaliknya. Tetapi, saya yakini, anak-anak sekolah tidak peduli hal demikian sebab mereka sendiri malah sudah pusing dengan bahasa Indonesia yang malah seperti matematika. Matematika yang menakutkan saja bisa dibuat menyenankan alias tidak menakutkan. Masa iya, pelajaran bahasa yang aslinya seharusnya menyenangkan, malah dibuat harus menguras otak.

Sesuatu yang tidak konsisten tentulah tercipta dari atas, bukan dari bawah. Maka, bila ditelisik, sesuatu itu muncul dari pemerintah melalui lembaga yang mengatur tentang cara berbahasa yang baik dan benar. Di tiap negara tentu mempunyai lembaga yang demikian. Sebut saja Academie Francaise di Prancis, Nederlands Taalunie di Belanda dan Belgia, Academia della Crusca di Italia, atau lembaga bahasa Arab di tiap-tiap negara Arab. Adanya lembaga-lembaga demikian, tujuannya tidak lain mengatur supaya terjadi keseragaman dalam berbahasa, baik lisan maupun tulisan.

Apakah Indonesia mempunyai lembaga yang demikian? tentu saja punya. Lembaga itu adalah Pusat Bahasa. Bagian dari Depdiknas. Pusat Bahasa, yang merupakan kelanjutan dari lembaga yang sama pada masa Hindia-Belanda, tentulah menjadi tumpuan dalam berbahasa. Segala sesuatunya diatur dari sini dan kemudian diaplikasikan dalam bentuk kamus, seminar, dan sebagainya. Terlihat dari luar mulus, tetapi pada kenyataannya kebalikannya.

Pusat Bahasa, sebagai lembaga tertinggi pengatur bahasa dan berbahasa pada kenyataannya malah memble dan tidak tegas. Ketika muncul keragamaan ejaan dan logika kalimat, lembaga ini bukannya menegaskan malah mengiyakan asal konsisten. Pusat Bahasa pun hanya jadi formalistas belaka dari sebuah politisasi pihak-pihak tertentu. Tidak bergerak. Hanya diam di tempat tanpa melakukan inovasi sama sekali. Alhasil, bahasa Indonesia menjadi mandek. Banyak protes bermunculan, tetapi sepertinya tidak digubris.

Bila dibandingkan dengan negara jiran, Malaysia, yang rupanya juga mempunyai lembaga yang sama, Dewan Bahasa dan Pustaka, keadaannya sungguh terbalik. Tidak ada campur tangan sama sekali. Lembaga ini malah terlihat tegas dan berwibawa. Hampir semua media massa di Malaysia ejaannya dan makna seragam.
Jadi, kalau sekarang mau mencari kata-kata konsisten. jawabannya: susah.

Politik dan Politisasi

Hampir setiap orang di republik ini, sama seperti saya, pasti muak dengan keadaan yang menimpa bangsa akhir-akhir ini. Kalau mau tepatnya, bukan akhir-akhir ini, melainkan pasca reformasi. Entahlah, banyak yang berharap pasca penggulingan rezim itu, akan tercipta kestabilan dan juga kemakmuran, lepas dari apa yang namanya KKN. Selain itu, lepas juga yang namanya budaya ABS serta adanya kebebasan di semua lini, termasuk kebebasan pers dan berekspresi.

Memang, kebebasan itu benar-benar seperti air terjun deras menerjang kehidupan bangsa ini, walau pun kebablasan. Akan tetapi, saya tidak mau membicarakan itu. Karena toh, itu sudah menjadi barang umum. Saya hanya ingin membicarakan tentang politisasi.

Sejujurnya, topik ini tidak akan lepas dari masalah mengenai politik. Di Indonesia, politik itu menjadi primadona nomor satu, terutama bagi mereka yang berada di Senayan, Istana Negara, atau tempat-tempat lain yang berbau pemerintahan. Menjadi primadona, karena hampir setiap hari, televisi-televisi berita di Indonesia yang lahir pasca reformasi, ramai-ramai membicarakan mengenai kasus politik A dan si B. Ditambah lagi, politik juga dijadikan santapan mewah bagi media massa, terutama harian, dengan tujuan oplah. Akibatnya, politik menjadi sesuatu yang negatif. Sesuatun yang ghibah karena mirip dengan gosip. Mempengaruhi dan menjatuhkan. Lawan menjadi kawan. Kawan menjadi lawan. Itulah yang mungkin, menurut saya, ada di benak masyarakat Indonesia sekarang bahwa politik tidak lepas dari pejabat, presiden, dan parlemen. Makanya, tidak heran jika jurusan politik di tiap perguruan tinggi laku. Namun, saya yakin seyakin-yakinnya, mereka yang belajar ilmu politik, harus menyadari dan kecele bahwa ilmu politik itu susah. Ya, iyalah, yang mereka tahu awal-awalnya kan hanya politik praktis. Aslinya, politik itu, beserta ilmunya, mulia. Tujuannya, mempengaruhi orang supaya orang berbuat baik. Untuk praktiknya, tidak harus di parlemen, cukup saja di dalam bergaul. Siapa yang berhasil mempengaruhi  temannya, maka ia telah pintar berpolitik.

Nah, dari politik kemudian menjadi politisasi. Semua sudah pasti tahu apa itu politisasi? kalau yang saya ambil dari KBBI, itu artinya adalah sesuatu gagasan atau keadaan yang bersifat politis. Politis sendiri adalah kata sifat dari politis, yang kemudian diturunkan menjadi nomina politisasi. Ini sendiri sebenarnya merupakan indonesianisasi dari politisir, yang berasal dari bahasa Belanda, politiseer. Berhubungan dengan politisasi, saya hanya ingin mengatakan, di semua tempat di Indonesia, tidak hanya di tempat-tempat berbau pemerintahan, semuanya dipolitisasi. Dua contoh saja yang saya ingin beritahu, PSSI dan bahasa Indonesia. Saya memilih ini bukan karena ada Indonesia di belakangnya, tetapi PSSI yang mewakili sepak bola, olahraga terpopuler se-Tanah Air, dan bahasa Indonesia, yang mewakili gerak laku komunikasi di zamrud khatulistiwa ini.

PSSI, yang sejatinya adalah basis untuk sebuah olahraga populer saja tak lekang oleh politisasi. Sejak berdirinya hingga sekarang, politisasi adalah hal yang lumrah. Jika dahulu Soeratin cs mendirikan PSSI sebagai organisasi untuk melawan kesombongan Belanda, maka sekarang untuk menanamkan hegemoni kekuasaan seperti presiden dengan moto: dia yang berkuasa, dia yang menang. Itu betul adanya. PSSI sekarang, yang Arifin cs, memang menang melawan Bakrie. Buktinya, ISL dihapus dan diharamkan kemudian diganti LPI. Statuta dilanggar dan masih banyak lagi. Akibatnya, sepak bola Indonesia kembali mandek dan tambah mandek. Selepas Nurdin lengser, ada secercah harapan bagi para penggila bola untuk bisa menikmati kembali permainan timnas Indonesia yang sempat memukau atau membuat timnas naik peringkatnya dari regional ke Asia, bahkan  dunia. Tetapi, nyatanya itu hanya mimpi di siang bolong. Dengan alasan ini-itu akibatnya membawa sesuatu yang fatal, Indonesia dengan mayoritas pemain LPI dicukur 10 gol tanpa balas oleh Bahrain. Sejujurnya, hal ini sangat memalukan? tetapi, malukah mereka? Para pemain malu, tetapi para petinggi itu tidak malu dan terus mencari-cari alasan. Tentu, para penggila sepak bola Indonesia muak, tetapi mereka sudah capek untuk coba melengserkan Johar dan kawan-kawannya, walau pun di dalam hati ingin sekali. Jikalau Johar lengser, Bakrie kembali muncul, dan saya rasa tetap saja politisasi ada dan ada. Akibatnya, akan mudah ditebak lagi sehingga malas juga panjang-lebar membicarakannya.

Kalau mengenai bahasa Indonesia, memang sedari dulu sudah banyak permasalahan, terutama pada ejaan dan semantisasi kalimat. Bahasa Indonesia, di mata sebagian orang di republik ini, adalah sesuatu yang menyebalkan dan tidak perlu, bahkan lebih baik bahasa asing. Itu memang benar. Coba lihat di sekolah-sekolah dari SD hingga SMA, bahasa Indonesia hanyalah pelengkap kurikulum semata. Hanya sekedar pelajaran menghafal, bukan praktik. Hanya sekedar pelajaran menguras otak dengan soal-soal susah seperti matematikan, dan bukannya menjadi pelajaran yang menyenangkan dengan bermain-main kata dan logika. Akhirnya yah akhirnya, banyak orang Indonesia, sejujurnya tidak lancar berbahasa secara logika, dan juga lancar berkosakata ketika menulis. Yang penting makna dasarnya tahu.

Selain itu, di beberapa tempat bisa berbeda kosakata. Ada yang menuruti KBBI atau malah sebaliknya.
Mengapa demikian?

Itu karena politisasi. Bahasa nasional ini sudah sering dipolitisasi demi kepentingan penguasa. Pusat Bahasa, sebagai regulator bahasa, hanya sekedar formalitas belaka. Meneliti, mengeluarkan KBBI, mengadakan seminar, tetapi hasilnya bisa dilihat sekarang. Semuanya beragam dan tidak konsisten. Akibatnya, menjadi sesuatu yang sulit bagi masyarakat, dan juga orang-orang yang berhadapan dengan masalah kebahasaan seperti saya ini, yang pekerjaannya sebagai editor di sebuah majalah berita ternama. Pusat Bahasa memang tidak tegas. Ini tentu beda dengan Dewan Bahasa dan Pustaka-nya Malaysia, yang malah benar-benar menjadi regulator. Tidak ada politisasi di dalamnya, termasuk campur tangan penguasa. Boleh dibilang, Malaysialah yang lebih kreatif dalam berbahasa daripada Indonesia.

Keadaan demikian juga mengingatkan saya jika naik angkot. Tidak adanya ketegasan dari regulator transportasi menyebabkan tarif bervariasi. Entah itu 2.000 atau 2.500. Yah, itu semua karena politisasi. Entahlah, apa saya nanti juga dipolitisasi?

Sheila ON 7-Hari Bersamanya