Keragaman Marga Indonesia

Sering mendengar nama-nama ini dalam kehidupan sehari kita?

Situmorang, Nainggolan, Silalahi, Hutapea, Lasut, Sondakh, Rotinsulu, Waworuntu, Salampessy, Puttiray, Sapulete, Haumahu, Sikumbang, Pilliang, Wanggai, Solossa, Raya dan Tallo?

Jika sering tentu beberapa ada yang langsung bisa menebak bahwa itu adalah nama belakang beberapa suku di Indonesia seperti misalnya, Situmorang cs. dari Batak dan Salampessy cs. dari Maluku.

Beberapa suku di Indonesia yang tentu saja akan berbeda adat-istiadatnya mempunyai nama lokal untuk keluarga mereka sendiri dan itu disebut dengan marga. Marga biasanya akan disematkan pada nama belakang seseorang dan itu sifatnya turun-menurun. Kebanyakan suku-suku di Indonesia dalam sistem kemargaannya menggunakan sistem patrilineal, yaitu yang berasal dari garis keturunan Ayah seperti yang ada pada marga Batak, Maluku, suku-suku di Nusa Tenggara Timur, Toraja,  Lampung, dan  Nias. Akan tetapi ada juga suku yang menggunakan sistem kemargaannya berdasarkan garis ibu atau matrilineal seperti yang ada pada suku Minangkabau. Kedua-duanya seperti di Minahasa atau genealogis-teritorial seperti di Lampung.

Namun, ada juga beberapa suku yang tidak mempunyai marga sama sekali. Hal ini dikarenakan dalam sistem kemargaan di suku-suku tersebut menggunakan sistem bilateral yaitu menganut keturunan dari garis ayah dan ibu. Hal ini terdapat pada suku-suku di Pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Sumatera (terutama yang mempunyai akar kebudayaan Melayu) Kalimantan (dalam hal ini Melayu Banjar dan Dayak), Bugis dan Bali.
Selain suku-suku asli Indonesia beberapa suku-suku pendatang dari luar dalam hal ini Cina, Arab, dan India juga mempunyai marga atau bangsa (khusus Arab). Beberapa marga yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari itu adalah Tan, Liem, Ang, Al-Habsyi, Baswedan, Al-Attas atau Alatas, Punjabi, Singh, dan Sinivasan. Beberapa marga dari suku-suku pendatang ini terutama Cina kebanyakan telah diindonesiakan dengan alasan politis pada masa Soeharto. Seperti misal PK. Ojong, mantan pendiri Kompas-Gramedia yang mengindonesiakan namanya dari Auwjong ke Ojong. Untuk marga dari Arab kebanyakan berasal dari Hadramaut, Yaman dan India berasal dari beberapa suku yang ada di India, Pakistan, Bangladesh, dan Srilanka seperti Punjabi yang berasal dari Punjab, daerah yang berada di India dan Pakistan.

Beberapa dari suku yang mempunyai marga tersebut seperti Batak dan Maluku bila dilihat mendasarkan kemargaannya juga pada sistem kemargaan yang berada di Eropa Barat seperti di Belanda, Jerman, Perancis, dan Inggris sedangkan di Minahasa berdasarkan pada Portugis dan Spanyol. Untuk Maluku penamaan marganya bisa dibilang unik sebab marga atau fam sebutan asli di sana biasanya bercampur dengan banyak nama dari luar selain dari lokal seperti ada orang yang bernama Caarstens yang sudah pasti dari Belanda, Da Costa atau De Fretes yang berasal dari Spanyol atau Portugal serta nama-nama Arab seperti Alkatiri dan Al Chatib.  

Ketika seseorang mempunyai marga di belakangnya tentunya hal tersebut tidak akan menyulitkannya ketika ia berada di luar negeri. Namun akan berdampak sebaliknya jika orang tersebut tidak bermarga seperti yang ada di Jawa yang hanya memakai satu nama pemberian saja. Otomatis nama pemberian itu diulang-ulang. Seperti nama Suparjo maka ketika di luar negeri nama itu akan diulang menjadi S. Suparjo. Biasanya untuk memudahkan beberapa orang di Indonesiakan memberikan nama tambahan untuk anaknya meskipun itu bukan nama marga dan malah hasilnya akan menjadi unknown atau tidak diketahui.

Untuk saat ini di Indonesia yang lebih sering terdengar marganya adalah Batak dan Maluku. Keterlibatan mereka dalam berbagai bidang seperti hukum, hiburan, dan olahraga menjadi ruang bagi publik untuk mengetahui hal tersebut. Sedangkan marga-marga lain kurang terdengar yang bisa saja kurang terperhatikan atau karena sudah tidak terpakai lagi seperti di Minangkabau yang hilang karena kebanyakan orang-orang di Minangkabau tidak terlalu lagi mempentingkan marga atau suku bagi sebutan mereka dalam beberapa dekade terakhir. Genealogis yang sifatnya matrilineal juga dianggap sebagai faktor tersebut karena sifatnya yang lemah. Malah sekarang ini kebanyakan orang-orang dari Minangkabau pun juga tidak segan memakai nama Melayu, Jawa, atau Sunda bahkan barat untuk anak-anaknya.

Sheila ON 7-Hari Bersamanya