Multikultur: Anugerah sekaligus Tantangan

Dalam belakangan dekade terakhir ini beberapa negara terutama di Eropa yang mengklaim sebagai empunya peradaban barat sedang giat-giatnya memproklamirkan diri sebagai negara yang multikulturalis. Hal itu dikarenakan ada banyaknya komposisi yang begitu beragam di dalam kependudukan mereka. Komposisi beragam itu kebanyakan berasal dari luar negara-negara yang bersangkutan yang tentu saja membawa banyak latar belakang dalam hal ini kebudayaan. Mereka pun disebut imigran yang kemudian mempunyai hak yang sama dan setara untuk mendapatkan fasilitas di negara baru tersebut.

Dari keadaan di atas tentu akan ada pertanyaan yang sederhana apa multilkulturalis itu?

Kata tersebut adalah kata sifat dan turunan dari multikulturalisme, yaitu sebuah paham yang menerima dan menghargai perbedaan latar belakang budaya dalam satu lingkungannya. Di Eropa hal demikian terjadi pada masa-masa setelah Perang Dunia ke-2 terutama pada tahun 1970-an dengan banyak datangnya para imigran dalam hal ini dari Afrika. Tentu saja keadaan yang demikian pada awalnya akan mengakibatkan pihak penetap asli terkejut dan belum siap menerima.

Lalu bagaimana dengan di Indonesia?

Jika di Eropa seperti terkesan buatan karena sesuatu yang menyangkut multikultural pasti harus ada imigrannya maka di Indonesia tidak demikian. Di sini hal tersebut sudah berlangsung lama dan alami. Berlangsungnya pun sudah berabab-abad. Masyarakat Indonesia pada umumnya memang sudah ditakdirkan untuk menjadi masyarakat yang multikutur dan tidak terkejut dengan situasi tersebut. Bahkan karena hal tersebut banyak kebudayaan di Indonesia yang lahir melalui proses dalam multikultur yaitu, akulturasi.

Keterkejutan atas sesuatu yang multikultur memang sering membawa dampak negatif terutama apabila ada dua kebudayaan yang bersinggungan. Kasus-kasus persinggungan itu kebanyakan terjadi di negara-negara Eropa. Banyak kejadian seperti kerusuhan etnis, prasangka buruk, dan segala macam dikarenakan hal tersebut.

Di Indonesia sendiri hal tersebut jarang terjadi karena identitas Indonesia yang sudah lahir sebagai kaum multikultur. Sikap saling menghargai masih ada meskipun belakangan harus ternoda oleh beberapa sikap yang menodai kemultikulturan Indonesia seperti prasangka buruk atas suku, ras, dan agama tertentu. Namun, semua itu bisa diredam dengan mengutamakan musyawarah dan mufakat. Sebab hal itu juga sudah sesuai dengan nenek moyang bangsa ini yang sudah menjalin kemultikulturan ketika republik ini belum berdiri. Memang dari sini saja bisa dikatakan bahwa multikultur itu anugerah namun juga tantangan.

Indonesia adalah negara yang mempunyai keberagaman agama dan kepercayaan. Setidaknya itulah yang memang terlihat dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Setiap orang dalam satu perkumpulan saja bisa mempunyai keyakinan yang berbeda-beda. Namun, ternyata perbedaan malah tidak menjadi penghalang untuk setiap individu yang di dalamnya untuk bersatu dan juga mengeluarkan pendapat. Hal ini dikarenakan adanya toleransi dari masing-masing pihak dalam melihat perbedaan tersebut.
Toleransi sudah begitu lama hidup di Indonesia bahkan dari abad kekuasaan Majapahit. Pada masa itu antara dua umat beragama yang ada di Majapahit, hindhu dan budha hidup rukun dan berdampingan satu sama lain. Hal itu pun tertuang dalam tulisan terkenal dari Mpu Sutasoma, Negarakertagama. Bahkan salah satu kata dari kitab itu, bhinneka tunggal ika kemudian dijadikan dasar bagi negara ini.

Karena sudah begitu lama toleransi lama-kelamaan menjadi budaya dari Indonesia itu sendiri. Banyak negara lain yang terkagum-kagum akan toleransi yang dibangun Indonesia.

Namun, pada saat ini toleransi yang ada di Indonesia seperti sedang diuji keberadaannya. Banyak kasus-kasus pelanggaran dan penyerangan terhadap kegiatan agama tertentu. Hal-hal seperti ini yang amat sangat disayangkan. Entah karena apa toleransi pada akhirnya sudah tidak dipakai lagi sehingga kekerasan pun akhirnya seperti akan siap membudaya. Semua ini terjadi pasca reformasi 1998.

Mengenai hal tersebut ada yang mengusulkan agar untuk meminimalisir tindak kekerasan terjadi diperlukan juga yang nama pluralisme. Pluralisme dalam artian di sini adalah kembali menghargai pihak-pihak yang berbeda dengannya dan membiarkan yang berbeda tersebut menjalankan aktivitas keagamaannya tanpa diganggu-gugat. Hal ini sesuai dengan jiwa toleransi Indonesia. Namun ada juga yang mengusulkan agar pluralisme tidak sebatas itu saja melainkan harus masuk ke dalam agama-agama yang bersangkutan sehingga melahirkan pluralisme agama. Paham ini pada intinya adalah mengajarkan semua Tuhan adalah sama dan satu dan karenanya semua agama adalah sama. Itu artinya setiap orang yang berbeda agamanya bisa dengan senang hati mengikuti ajaran agama lain semau gue.

Bila dilihat dari caranya jelas pluralisme agama yang selalu didengung-dengungkan oleh pihak-pihak yang katakanlah liberal sebenarnya menyalahi aturan dari toleransi itu sendiri. Toleransi itu ada untuk menghargai perbedaan namun harus ada batasnya. Jika tidak ada batas maka manusia bisa sesuka hati main ini itu seperti layaknya binatang. Padahal manusia itu bukan binatang karena jelas manusia dianugerahi akal dan pikiran dan dengan itu manusia mempunyai cipta, rasa, dan karsa.

Jika pihak-pihak yang selalu mendengungkan pluralisme agama dengan alasan toleransi dan semua agama sama jelas-jelas dia sudah tidak mengakui perbedaan yang ada di republik ini sebagaimana yang digariskan dalam konstitusi. Apalagi jika dikatakan semua agama itu sama. Tentu saja itu semua masih pada inti. Tentang konsep yang lain seperti ketuhanan tentu berbeda. Mengatakan semua agama sama berarti juga akan menganggu-gugat hak otonomi agama yang diwakili pemeluknya. Pada dasarnya keyakinan seseorang tidak bisa dicampur aduk seperti halnya kita mencampur aduk banyak buah untuk dijadikan jus dan belum tentu semua akan klop. Tentu saja hal tersebut akan membuat yang memeluk agama tertentu menjadi bingung untuk mencari kebenaran apalagi jika itu sifatnya hakiki. Kalau memang mengatakan agama itu sama semuanya, ada baiknya yang mengatakan untuk lebih baik menjadi seorang yang ateis karena tidak mau repot-repot dalam beribadah. 

Jadi, pluralisme agama itu tidak diperlukan dalam kehidupan yang berbhineka itu sebab dampaknya hanya akan merusak toleransi yang sedang diuji pada sekarang-sekarang ini. 


Sheila ON 7-Hari Bersamanya