Politik dan Politisasi

Hampir setiap orang di republik ini, sama seperti saya, pasti muak dengan keadaan yang menimpa bangsa akhir-akhir ini. Kalau mau tepatnya, bukan akhir-akhir ini, melainkan pasca reformasi. Entahlah, banyak yang berharap pasca penggulingan rezim itu, akan tercipta kestabilan dan juga kemakmuran, lepas dari apa yang namanya KKN. Selain itu, lepas juga yang namanya budaya ABS serta adanya kebebasan di semua lini, termasuk kebebasan pers dan berekspresi.

Memang, kebebasan itu benar-benar seperti air terjun deras menerjang kehidupan bangsa ini, walau pun kebablasan. Akan tetapi, saya tidak mau membicarakan itu. Karena toh, itu sudah menjadi barang umum. Saya hanya ingin membicarakan tentang politisasi.

Sejujurnya, topik ini tidak akan lepas dari masalah mengenai politik. Di Indonesia, politik itu menjadi primadona nomor satu, terutama bagi mereka yang berada di Senayan, Istana Negara, atau tempat-tempat lain yang berbau pemerintahan. Menjadi primadona, karena hampir setiap hari, televisi-televisi berita di Indonesia yang lahir pasca reformasi, ramai-ramai membicarakan mengenai kasus politik A dan si B. Ditambah lagi, politik juga dijadikan santapan mewah bagi media massa, terutama harian, dengan tujuan oplah. Akibatnya, politik menjadi sesuatu yang negatif. Sesuatun yang ghibah karena mirip dengan gosip. Mempengaruhi dan menjatuhkan. Lawan menjadi kawan. Kawan menjadi lawan. Itulah yang mungkin, menurut saya, ada di benak masyarakat Indonesia sekarang bahwa politik tidak lepas dari pejabat, presiden, dan parlemen. Makanya, tidak heran jika jurusan politik di tiap perguruan tinggi laku. Namun, saya yakin seyakin-yakinnya, mereka yang belajar ilmu politik, harus menyadari dan kecele bahwa ilmu politik itu susah. Ya, iyalah, yang mereka tahu awal-awalnya kan hanya politik praktis. Aslinya, politik itu, beserta ilmunya, mulia. Tujuannya, mempengaruhi orang supaya orang berbuat baik. Untuk praktiknya, tidak harus di parlemen, cukup saja di dalam bergaul. Siapa yang berhasil mempengaruhi  temannya, maka ia telah pintar berpolitik.

Nah, dari politik kemudian menjadi politisasi. Semua sudah pasti tahu apa itu politisasi? kalau yang saya ambil dari KBBI, itu artinya adalah sesuatu gagasan atau keadaan yang bersifat politis. Politis sendiri adalah kata sifat dari politis, yang kemudian diturunkan menjadi nomina politisasi. Ini sendiri sebenarnya merupakan indonesianisasi dari politisir, yang berasal dari bahasa Belanda, politiseer. Berhubungan dengan politisasi, saya hanya ingin mengatakan, di semua tempat di Indonesia, tidak hanya di tempat-tempat berbau pemerintahan, semuanya dipolitisasi. Dua contoh saja yang saya ingin beritahu, PSSI dan bahasa Indonesia. Saya memilih ini bukan karena ada Indonesia di belakangnya, tetapi PSSI yang mewakili sepak bola, olahraga terpopuler se-Tanah Air, dan bahasa Indonesia, yang mewakili gerak laku komunikasi di zamrud khatulistiwa ini.

PSSI, yang sejatinya adalah basis untuk sebuah olahraga populer saja tak lekang oleh politisasi. Sejak berdirinya hingga sekarang, politisasi adalah hal yang lumrah. Jika dahulu Soeratin cs mendirikan PSSI sebagai organisasi untuk melawan kesombongan Belanda, maka sekarang untuk menanamkan hegemoni kekuasaan seperti presiden dengan moto: dia yang berkuasa, dia yang menang. Itu betul adanya. PSSI sekarang, yang Arifin cs, memang menang melawan Bakrie. Buktinya, ISL dihapus dan diharamkan kemudian diganti LPI. Statuta dilanggar dan masih banyak lagi. Akibatnya, sepak bola Indonesia kembali mandek dan tambah mandek. Selepas Nurdin lengser, ada secercah harapan bagi para penggila bola untuk bisa menikmati kembali permainan timnas Indonesia yang sempat memukau atau membuat timnas naik peringkatnya dari regional ke Asia, bahkan  dunia. Tetapi, nyatanya itu hanya mimpi di siang bolong. Dengan alasan ini-itu akibatnya membawa sesuatu yang fatal, Indonesia dengan mayoritas pemain LPI dicukur 10 gol tanpa balas oleh Bahrain. Sejujurnya, hal ini sangat memalukan? tetapi, malukah mereka? Para pemain malu, tetapi para petinggi itu tidak malu dan terus mencari-cari alasan. Tentu, para penggila sepak bola Indonesia muak, tetapi mereka sudah capek untuk coba melengserkan Johar dan kawan-kawannya, walau pun di dalam hati ingin sekali. Jikalau Johar lengser, Bakrie kembali muncul, dan saya rasa tetap saja politisasi ada dan ada. Akibatnya, akan mudah ditebak lagi sehingga malas juga panjang-lebar membicarakannya.

Kalau mengenai bahasa Indonesia, memang sedari dulu sudah banyak permasalahan, terutama pada ejaan dan semantisasi kalimat. Bahasa Indonesia, di mata sebagian orang di republik ini, adalah sesuatu yang menyebalkan dan tidak perlu, bahkan lebih baik bahasa asing. Itu memang benar. Coba lihat di sekolah-sekolah dari SD hingga SMA, bahasa Indonesia hanyalah pelengkap kurikulum semata. Hanya sekedar pelajaran menghafal, bukan praktik. Hanya sekedar pelajaran menguras otak dengan soal-soal susah seperti matematikan, dan bukannya menjadi pelajaran yang menyenangkan dengan bermain-main kata dan logika. Akhirnya yah akhirnya, banyak orang Indonesia, sejujurnya tidak lancar berbahasa secara logika, dan juga lancar berkosakata ketika menulis. Yang penting makna dasarnya tahu.

Selain itu, di beberapa tempat bisa berbeda kosakata. Ada yang menuruti KBBI atau malah sebaliknya.
Mengapa demikian?

Itu karena politisasi. Bahasa nasional ini sudah sering dipolitisasi demi kepentingan penguasa. Pusat Bahasa, sebagai regulator bahasa, hanya sekedar formalitas belaka. Meneliti, mengeluarkan KBBI, mengadakan seminar, tetapi hasilnya bisa dilihat sekarang. Semuanya beragam dan tidak konsisten. Akibatnya, menjadi sesuatu yang sulit bagi masyarakat, dan juga orang-orang yang berhadapan dengan masalah kebahasaan seperti saya ini, yang pekerjaannya sebagai editor di sebuah majalah berita ternama. Pusat Bahasa memang tidak tegas. Ini tentu beda dengan Dewan Bahasa dan Pustaka-nya Malaysia, yang malah benar-benar menjadi regulator. Tidak ada politisasi di dalamnya, termasuk campur tangan penguasa. Boleh dibilang, Malaysialah yang lebih kreatif dalam berbahasa daripada Indonesia.

Keadaan demikian juga mengingatkan saya jika naik angkot. Tidak adanya ketegasan dari regulator transportasi menyebabkan tarif bervariasi. Entah itu 2.000 atau 2.500. Yah, itu semua karena politisasi. Entahlah, apa saya nanti juga dipolitisasi?

Sheila ON 7-Hari Bersamanya