Mencari Kata-Kata Konsisten

Konsisten. Nampaknya, hal demikian amat sulit ditemukan, terutama di republik ini . Konsisten, sejujurnya hanya terdiri dari sembilan huruf. Tetapi, tampaknya sembilan huruf itu menjadi perkara yang gampang ketika diucapkan, baik dalam normal maupun cepat. Anak kecill saja bisa mengucapkannya, jika diajarkan. Perihal konsisten, yang mungkin dan bukan tidak mungkin, bisa disinonimkan dengan keteguhan, ketetapan, atau sesuatu yang sifatnya tetap alias tidak berubah-ubah. Meski disinonimkan, tetap saja konsisten yang menang. Cara pengucapannya yang diletupkan keluar secara fonologis, membuat orang-orang tampak lebih merasa "keren" statusnya ketika mengucapkannya.

Wajar, karena konsisten itu sendiri berasal dari bahasa rumpun germanik, Inggris dan Belanda, consistent. Wajar juga karena sesuatu yang bersifat asing akan selalu dikerubuti oleh pemakai bahasa di negeri ini, ketika ada suatu titik kebingungan saat hendak berucap.

Tetapi, saya tidak mau berpanjang-lebar mengenai konsisten ini. Toh, saya juga menggunakannya. Yang saya ingin paparkan adalah kata-kata yang konsisten. Jika kata-kata itu konsisten, itu berarti kata-kata haruslah mempunyai suatu ketegasan, ketetapan, dan tidak berubah-ubah. Kata-kata yang demikian amat sangat diperlukan, terutama bagi mereka yang hendak belajar bahasa Indonesia, baik lokal maupun asing.

Konsistennya sebuah kata, bisa dilihat dari strukturnya yang tidak pernah berubah-ubah selama berpuluh-puluh tahun. Keadaan demikian, membuat pemakainya  terus-menerus memakainya, dan menjadikan yang demikian sebagai pedoman utuh. Ini tentu, kalau sudah diyakini, tidak perlu lagi tanya ini-itu atau melihat kamus. Melihat kamus pun juga untuk mencari definisi meskipun itu tentatif dan relatif.

Bagaimana jika sebaliknya?

Tentu yang demikian amat sangat merepotkan. Bagi pembelajar bahasa atau yang berhadapan dengan bahasa, masalah demikian memang riskan. Apalagi bagi orang-orang di luar tersebut.

Itu sih lain cerita kalau di negara maju. Di Indonesia? kalau boleh memilih, tentu Anda akan mengatakan secara pasti keadaan nomor dua.

Ya! itu betul! di sini memang tidak konsisten. Terlalu banyak ketidakkonsistenan. Merasuk ke dalam kata-kata, baik secara struktural maupun secara logika. Di banyak tempat, terutama di media massa dan penerbitan, pasti berbeda penerapan kata-kata itu. Di tempat yang satu menuruti si anu, di tempat ini juga menuruti si anu. Pada akhirnya, terciptalah keragaman, tetapi dalam konteks yang negatif. Hal demikian memang menyulitkan, bukan saja si pekerja bahasa, tetapi masyarakat awam, terutama anak-anak sekolah. Kalau yang peduli akan bertanya pada gurunya, yang tidak peduli sebaliknya. Tetapi, saya yakini, anak-anak sekolah tidak peduli hal demikian sebab mereka sendiri malah sudah pusing dengan bahasa Indonesia yang malah seperti matematika. Matematika yang menakutkan saja bisa dibuat menyenankan alias tidak menakutkan. Masa iya, pelajaran bahasa yang aslinya seharusnya menyenangkan, malah dibuat harus menguras otak.

Sesuatu yang tidak konsisten tentulah tercipta dari atas, bukan dari bawah. Maka, bila ditelisik, sesuatu itu muncul dari pemerintah melalui lembaga yang mengatur tentang cara berbahasa yang baik dan benar. Di tiap negara tentu mempunyai lembaga yang demikian. Sebut saja Academie Francaise di Prancis, Nederlands Taalunie di Belanda dan Belgia, Academia della Crusca di Italia, atau lembaga bahasa Arab di tiap-tiap negara Arab. Adanya lembaga-lembaga demikian, tujuannya tidak lain mengatur supaya terjadi keseragaman dalam berbahasa, baik lisan maupun tulisan.

Apakah Indonesia mempunyai lembaga yang demikian? tentu saja punya. Lembaga itu adalah Pusat Bahasa. Bagian dari Depdiknas. Pusat Bahasa, yang merupakan kelanjutan dari lembaga yang sama pada masa Hindia-Belanda, tentulah menjadi tumpuan dalam berbahasa. Segala sesuatunya diatur dari sini dan kemudian diaplikasikan dalam bentuk kamus, seminar, dan sebagainya. Terlihat dari luar mulus, tetapi pada kenyataannya kebalikannya.

Pusat Bahasa, sebagai lembaga tertinggi pengatur bahasa dan berbahasa pada kenyataannya malah memble dan tidak tegas. Ketika muncul keragamaan ejaan dan logika kalimat, lembaga ini bukannya menegaskan malah mengiyakan asal konsisten. Pusat Bahasa pun hanya jadi formalistas belaka dari sebuah politisasi pihak-pihak tertentu. Tidak bergerak. Hanya diam di tempat tanpa melakukan inovasi sama sekali. Alhasil, bahasa Indonesia menjadi mandek. Banyak protes bermunculan, tetapi sepertinya tidak digubris.

Bila dibandingkan dengan negara jiran, Malaysia, yang rupanya juga mempunyai lembaga yang sama, Dewan Bahasa dan Pustaka, keadaannya sungguh terbalik. Tidak ada campur tangan sama sekali. Lembaga ini malah terlihat tegas dan berwibawa. Hampir semua media massa di Malaysia ejaannya dan makna seragam.
Jadi, kalau sekarang mau mencari kata-kata konsisten. jawabannya: susah.


0 komentar:

Posting Komentar

Sheila ON 7-Hari Bersamanya